PENDAHULUAN
Masyarakat Wilayah Banten Selatan tepatnya di
Kabupaten Lebak bagian selatan memang selama ini dikenal mempunyai corak
budaya tersendiri dalam kehidupan bermasyarakatnya, khususnya sebagian
masyarakat yang berdomisili dan bermukim di wilayah pelataran kaki
Gunung Halimun-Salak. Corak Budaya masyarakat di wilayah Banten Selatan
ini lebih dikenal sebagai Masyarakat Adat atau lebih Populer dikenal
sebagai wilayah Adat Kasepuhan. Mengapa demikian? Karena dalam struktur
masyarakat adat kasepuhan selain terdapat sistem “kepemimpinan Formal” (Baca: Kepala Desa, Camat, Bupati dan Seterusnya), terdapat pula sistem “kepemimpinan tradisional” yang
dipimpin oleh Pemangku Adat atau Sesepuh. Pada Masyarakat Adat
Kasepuhan Banten Kidul, Pemangku Adat / Sesepuh biasanya disebut sebagai
Olot atau Abah yang memainkan peran sebagai salah satu figur yang
dipercaya sebagai pengatur pola kehidupan Masyarakatnya. Sebenarnya
Bukan hanya di Banten selatan saja terdapat pola kehidupan masyarakat
seperti ini, di wilayah bagian utara Kabupaten Lebak seperti wilayah
Guradogpun masih terdapat pula masyarakat adat, bahkan di beberapa
daerah di Indonesia terutama daerah agraris, terdapat pula corak budaya
masyarakat kasepuhan seperti ini meski namanya mungkin berbeda-beda. Di
Kasepuhan Banten Kidul saja, setidaknya kurang lebih ada 15 (Lima
Belas) Kasepuhan / warga adat yang tergabung dalam Serikat Adat Banten
Kidul (SABAKI). Dari ke 15 Kasepuhan tersebut diantaranya adalah
Kasepuhan Ciherang, Citorek, Cicarucub, Cisungsang, Cisitu, Cipta
gelar/Cicemet (Khusus untuk Ciptagelar/Cicemet wilayah administratif nya
berada pada perbatasan Jawa Barat dan Banten tepatnya di Kabupaten
Sukabumi), dan Kasepuhan-kasepuhan lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Dalam tulisan ini penulis tidak akan
membahas secara rinci dan mendalam tentang Epistimologi Masyarakat Adat,
Apa dan Bagaimana Pola Kehidupan Masyarakat adat, apalagi berani
menelusuri sejarah Kasepuhan Banten Kidul. Dalam artikel ini penulis
hanya akan coba membatasi masalah Norma Adat Istiadat yang berlaku
hubungannya dengan pemahaman siswa tentang Hakekat Norma dalam kehidupan
bersama. Walaupun secara empiris indikator Pemahaman sulit untuk di
ukur, namun setidaknya langkah awal dalam menilai sejauh mana
pengatahuan siswa tentang hakekat Norma dalam kehidupan bersama dapat
dilihat dari bagaimana siswa dapat memahami dan memaknai dulu
Nilai-nilai dan norma yang ada dilingkungan sosial tempat ia berada
melalui Adat Istiadat yang berlaku terutama dalam acara Seren Taun yang
telah dilaksanakan di 2(dua) wilayah kasepuhan yang penulis amati dan
telusuri, yakni Kasepuhan Adat Cisungsang dan Kasepuhan Adat Cisitu yang
berada di wilyah administratif Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak
Provinsi Banten, untuk selanjutnya dapat dijadikan referensi bagi siswa
dalam mengkaji Norma-norma kehidupan demi kepentingan akademik mereka
dengan harapan dapat ditampilkan dalam kehidupan nyata baik di sekolah,
keluarga dan masyarakat. Anggapan Dasar yang coba penulis kemukakan
adalah Upacara Adat Seren Taun sebagai aktualisasi dari nilai dan
norma yang berlaku sekaligus puncak ritual pada masyarakat adat
kasepuhan Banten kidul dalam hubungannya dengan penerapan pemahaman
siswa/Peserta didik terutama siswa SMP Negeri 7 Cibeber tentang Hakikat
Norma dalam Kehidupan. Anggapan Dasar yang penulis ajukan berdasar
pada upaya penulis untuk memberikan stimulus kepada siswa SMP Negeri 7
Cibeber yang cenderung berada di lingkup wilayah ke dua kasepuhan
tersebut untuk lebih bersikap peka terhadap norma dalam kehidupan
bersama, sekaligus menawarkan solusi atas keterbatasan media dan
informasi dalam Pembahasan Materi “Norma Dalam Kehidupan Bersama” pada
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah, terutama
sekolah yang berada jauh dari pusat kota seperti halnya di SMP Negeri 7
Cibeber ini. Adapun Tujuan dari penulisan ini adalah siswa diharapkan
mempunyai pengalamannya sendiri dalam mengetahui, mendeskripsikan,
memahami dan bisa menampilkan sikap positif terhadap pentingnya Norma
dalam kehidupan bersama. Tulisan ini Tentunya disajikan secara sederhana
dengan segala keterbatasan data dan pemahaman penulis.
II. HAKIKAT NORMA DALAM KEHIDUPAN
Norma menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aturan atau ketentuan yang
mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan,
tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima. Selain itu
ada pula yang menyebutkan bahwa norma adalah kaidah atau aturan yang
disepakati dan memberi pedoman tingkah laku bagi para anggotanya dalam
mewujudkan sesuatu yang dianggap baik, benar dan diinginkan (Tim Abdi
Guru, 2006 : 2). Berdasarkan pendapat tersebut, secara singkat Norma
dapat diartikan sebagai kaidah atau pedoman dalam mewujudkan suatu
nilai. Norma berfungsi untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks interaksi
sosial Norma berisi perintah dan larangan yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan bersama, bertujuan untuk mengatur setiap warga masyarakat
sehingga ketertiban dan keamanan dapat tercapai. Norma-norma yang
mengatur masyarakat pada umumnya ada yang bersifat formal (resmi /tertulis) dan ada yang bersifat nonformal (Tidak resmi/tidak tertulis).
Seperti diketahui Norma yang bersifat Formal
(Resmi/Tertulis) berasal dari lembaga atau institusi resmi negara yang
berlaku untuk semua Warganegara tanpa kecuali, ia dapat berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat Keputusan
(SK) dan lain sebagainya yang bersumber dari Negara. Secara prinsip
norma yang bersifat Formal bisa dikatakan sebagai Norma Hukum yang memiliki sanksi yang tegas dan memaksa bagi pelanggarnya.
Sedangkan Norma yang bersifat Nonformal (Tidak
resmi/tidak tertulis) mengacu pada aturan yang tidak tertulis tetapi
diakui keberadaannya di Masyarakat. Khusus untuk Norma yang bersifat nonformal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua Macam.
Pertama, Norma yang bisa ditentukan dan dilihat dari jenis sanksinya, sebagai Contoh :
a. Norma Agama, yang bersifat abadi dan universal berasal dari wahyu Tuhan YME, serta memiliki sanksi secara tidak
langsung.
b. Norma Susila, yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, memiliki sanksi
yang tidak tegas bagi para pelanggarnya seperti perasaan bersalah, malu dan menyesal apabila melakukan perbuatan
tidak jujur, tidak adil, dan tidak menghargai orang lain.
c. Norma Kesopanan, yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia didalam masyarakat dan dianggap sebagai
tuntunan interaksi sosial masyarakat itu yang bersifat relatif, mempunyai sanksi tidak tegas tetapi dapat diberikan oleh
masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dari pergaulan bagi si pelanggarnya.
Kedua, Norma dilihat berdasarkan kekuatan mengikatnya, biasanya dapat berupa Cara, Kebiasaan, Tata kelakuan dan Adat Istiadat.
Norma-norma tersebut ada dan hidup dalam masyarakat dengan mempunyai
kekuatan pengikat yang berbeda-beda. Ada yang ikatannya lemah, sedang
dan ada yang kuat. Biasanya, masyarakat tidak berani melanggar norma
yang kuat Ikatannya seperti Adat Istiadat.
III. UPACARA ADAT SEREN TAUN KASEPUHAN ADAT BANTEN KIDUL SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN NORMA ADAT ISTIADAT.
Seperti Pada umumnya masyarakat Desa di Indonesia, pola hubungan masyarakat dan pemimpinnya dapat dikatakan masih bersifat Paternalistis, karena
kenapa? Dalam terminologi Sosiologi Masyarakat Desa, di Indonesia masih
banyak ditemui komunitas atau kelompok dimana hubungan antara anggota
masyarakat masih didasarkan pada pola Patron-klien, atau secara
sederahana menurut beberapa pakar sosiologi kemasyarakatan diartikan
sebagai hubungan “Kebapak-an / Bapak-Anak”. Dalam pola ini, tingkah
laku masyarakat akan banyak mengikuti tokoh yang dianggap menjadi
panutan mereka tanpa mempersoalkan benar atau salah. Aturan atau
kebijakan yang berasal dari tokoh tersebut menjadi suatu pedoman dan
nilai yang harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagai norma hidup
masyarakatnya. Pola seperti ini berkembang secara terus menerus
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga membentuk
suatu sistem nilai yang pada akhirnya terciptalah apa yang di Sebut Adat
Istiadat.
Menurut Bachsan Mustafa dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia Terpadu (2003), Adat
Istiadat merupakan pola-pola prilaku yang diakui sebagai hal yang baik
dan dijadikan sebagai hukum tidak tertulis dengan sanksi yang berat.
Sanksi atau hukuman diberikan oleh orang yang paling mengetahui seluk
beluk adat, seperti pemimpin adat, pemangku adat, atau kepala suku.
Misalnya dalam masyarakat dikenal istilah “Tabu” Pamali atau pantangan,
sesuatu yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar.
Seandainya itu dilanggar, maka bencana akan menimpa seluruh warga dan si
pelaku akan di kenai sanksi. Dengan demikian Norma adat Istiadat bisa
dikatakan sebagai kumpulan tata kelakuan atau kaidah-kaidah sosial yang
paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat
kuat terhadap masyarakat yang memilikinya (masyarakat yang berada pada
lingkungan adat), dikatakan demikian karena kaidah-kaidah sosial
tersebut sudah ada sejak lama dan telah menjadi kebiasaan dalam
mayarakat.
Koentjaraningrat (dalam Nur Asiah, 2009:8)
pernah menyebut adat Istiadat sebagai kebudayaan Abstrak atau sistem
nilai, yang terdiri dari 4 (empat) unsur yang saling berkaitan, yakni : Nilai-nilai Budaya, sistem norma, Sistem Hukum, dan aturan-aturan khusus.
Berdasarkan pendapat tersebut penulis menangkap kebudayaan Abstrak atau
sistem nilai yang dimaksud Koentjaraningrat adalah sebagai akumulasi
dari perwujudan ke empat unsur tersebut sehingga menciptakan norma yang
tidak tertulis dan berlaku sebagai pedoman tatanan kehidupan sosial,
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan diyakini
kebenarannya, sehingga umumnya orang meyakini bahwa adat istiadat
merupakan kehendak nenek moyang. Oleh karena itu aturan-aturan yang
ditetapkan oleh Adat harus dijalankan. Dengan demikian masyarakat/warga
adat akan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penyakit
dan bencana.
Adalah Upacara Adat Seren Taun yang menjadi puncak
ritual adat Kasepuhan Banten Kidul menjadi sebuah agenda rutin tiap
tahunnya yang diselenggarakan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Banten
Kidul, dimana Upacara Adat ini oleh masyarakat sosialnya di “Tasbihkan”
sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas karunia yang
telah diberikan kepada Warga Masyarakat karena telah dilimpahkan hasil
bumi berupa Padi sebagai Bahan kebutuhan Pokok/Utama makanan warga.
Berdasarkan keterangan narasumber yang berhasil penulis temui,
diantaranya Abah Marja (selaku salah satu sesepuh di Kasepuhan Cisitu)
dan Bapa Atjaya (Selaku Tokoh Adat dan Masyarakat), pada Prinsipnya
Seren Taun bararti Saresehan atau Menyerahkan rasa syukur kepada para
leluhur.
Adapun Rangkaian seren Taun yang dilaksanakan di Kasepuhan Masyarakat Adat Cisitu secara ringkas adalah :
1. Beberapa Hari sebelum pelaksanaan seren taun Para Rendangan (Orang yang dipercaya memegang garis keturunan)
mendata keluarga/Warga adat yang diampunya untuk proses “mengembalikan Anak Cucu” atau kembalinya keturunan
warga adat Cisitu dimanapun berada untuk kembali ke kampung halaman. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara
jelas berapa jumlah orang atau anggota keluarganya yang terikat dalam pelaksanaan Seren taun.
2. Pengiriman Do’a untuk para karuhun yang dilaksanakan oleh para warga adat sebelum upacara adat dilaksanakan.
3. Puncak acara ritual yang dipimpin oleh Kordinator Sesepuh /Abah. (di Kasepuhan Cisitu bertindak sebagai Pemimpin
Upacara adat adalah Abah H.Okri). Biasanya puncak ritual ini dihadiri oleh berbagai tamu Undangan termasuk dari
Instansi Pemerintahan, Bahkan Gubernur dan Bupati pun biasanya hadir dalam acara ini.
4. Dalam Puncak acara seren taun biasanya ditampilkan pula seremoni teatrikal proses penanaman padi, panen raya,
hingga “Netebkeun/Ngadiukeun Indung” (menyimpan Padi Ke Tempatnya/Leuit) diiringi kesenian tradisonal setempat,
seperti dog-dog Lojor.
5. Puncak Acara seren taun ditutup oleh acara “Ngarasul”, artinya Tutup Do’a untuk Sang Maha Pencipta dan Karuhun
serta “Babagi Panglay, kemenyan, dsb.” untuk kepentingan menanam Padi, Berkebun, beternak dan Lain
sebegaianya.
Sedangkan
di Kasepuhan Adat Cisungsang, berdasarkan berbagai sumber, secara umum
ada tiga kegiatan pokok yang tidak boleh dilewatkan dalam rangkaian
seren taun, yaitu menampilkan kesenian tradisional, mengirim doa kepada
karuhun, serta mengirim doa kepada Yang Maha Kuasa dipimpin oleh Abah.
Di Kasepuan Adat Cisungsang sendiri bertindak sebagai Pemangku Adat atau
sesepuh adalah Abah Usep Suyatma. Berikut secara ringkas rangkaian
Acara Seren Taun Cisungsang :
1. Acara seren taun di
Cisungsang dimulai dengan acara rasul pare di leuit, yaitu
mempersembahkan tumpeng rasul dan bekakak ayam jantan berwarna kuning
keemasan. Kegiatan ini dipimpin Abah Usep Suyatma yang didampingi 7
orang pake-pake kolot (sesepuh yang diambil berdasarkan garis
keturunan). Ritual ini untuk menentukan kapan puncak seren taun kali ini
berlangsung. Kegiatan ini tertutup bagi anggota warga adat lainnya,
apalagi orang luar. 6 (enam) Hari sebelum puncak acara hanya diisi
dengan kegiatan sakral dan doa-doa masing-masing anggota warga adat.
2.
2 (dua) hari sebelum upacara, berlangsung acara balik taun rendangan
atau kembalinya para keturunan Warga Adat Cisungsang ke kampung halaman
leluhur, bahkan ada pula warga yang datang dari pelosok Banten atau
bahkan nusantara. Pada acara ini, semua rendangan melaporkan segala hal
kepada Abah sambil membawa buah tangan dari tempat mereka mencari
kehidupan. Setiap rendangan akan melapor secara khusus satu per satu.
3.
Puncak seren taun diisi dengan Upacara Ritual yang dipimpin oleh Abah
Usep, diisi dengan pertunjukan kesenian yang menggambarkan kegiatan
warga adat bercocok tanam mulai dari menebar benih hingga memanen.
Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan menyimpan sebagian hasil panen
ke dalam lumbung (leuit) sebagai cadangan pangan jika terjadi gagal
panen atau datang musibah. Dengan demikian, warga adat tak akan
kelaparan. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan ramah-tamah
antara seluruh anggota warga adat dengan pemerintah dalam hal ini
jajaran Pemkab Lebak dan Pemprov Banten.
4. Sehari setelah
Upacara, rangkaian acara dilanjutkan dengan rasul seren taun, yaitu
mengirim doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dipimpin oleh Abah Usep.
5.
Acara penutupan rangkaian seren taun diisi Acara “panadaran”. Closing
ceremony biasanya hanya dihadiri para rendangan yang setelah itu kembali
melanjutkan kehidupan mereka masing-masing dengan harapan bisa bertemu
lagi di seren taun tahun depan.
Dari serangkaian Acara
Seren Taun yang dilaksanakan khususnya di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan
Cisungsang serta di Kasepuhan Adat Banten Kidul pada umumnya, ada suatu
hal yang sangat penting dan tidak boleh dilupakan serta wajib dipatuhi
dan dilaksanakan oleh seluruh warga adat yang terikat, hal tersebut
berupa Pantangan. Di Kasepuhan Cisitu dan Cisungsang sendiri pantangan
ini dinamakan “Pongokan”, yang artinya tenggat waktu selama 7 (tujuh)
atau 8 (Delapan) hari sebelum / menjelang Acara Puncak Ritual Adat Seren
Taun dilaksanakan, warga Adat tidak diperkenankan melakukan aktivitas
pokok, Seperti melakukan aktivitas di Sawah, bercocok tanam, menuai
hasil kebun, dan lain sebagainya. Baru setelah 1 (satu) hari dari Acara
terakhir yaitu “Tutup Rasul” yang ditandai dengan pembagian bahan dan
rupa-rupa “bekal” (seperti yang disebutkan diatas) dari Abah/sesepuh,
maka warga adat diperkenankan kembali untuk melakukan aktivitas
kesehariannya. Istilah “Pongokan” ini dipercaya oleh warga adat sebagai
nilai yang mengandung unsur “Tabu” atau “pamali” yang jika dilanggar
akan mendapatkan sanksi berupa bencana atau musibat yang tidak
diinginkan.
Kandungan isi “Pongokan” inilah sesungguhnya yang
menjadi urgensi dalam tulisan ini, dimana “Pongokan” ini penulis anggap
sebagai suatu norma atau kaidah nilai adat istiadat yang berlaku sebagai
pedoman hidup bagi warga adat di Kasepuhan Cisitu dan Cisungsang pada
khususnya. Tidak terkecuali bagi anak-anak siswa SMPN 7 Cibeber yang
cenderung berada dilungkup wilayah adat tersebut. Istilah “pongokan” ini
pula dipakai oleh penulis sebagai salah satu model contoh norma
terutama Norma Adat Istiadat yang berlaku dalam kehidupan bersama,
sehingga pada akhirnya siswa dengan sendirinya dapat mengetahui dan
merasakan adanya Norma dalam kehidupan sosialnya.
IV. PEMAHAMAN SISWA TERHADAP NORMA DALAM KEHIDUPAN BERSAMA
Dalam berbagai konteks pembelajaran dari mulai kurikulum 1994 dengan CBSA nya, tahun 2004 atau KBK dengan model CTL (Contekstual Teaching Learning) dan Life skil nya,
sampai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai
Kurikulum Penyempurnaan (2006- sekarang) dengan berbagai model dan
pendekatan PAKEM nya, pada hakekatnya bermuara pada satu konsep general
yang menggariskan bahwa siswa atau Peserta Didik didorong untuk membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya untuk diintegrasikan dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka di dunia nyata sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Adapun pengetahuan yang dimiliki siswa/peserta
didik dapat digali dari pengalaman Hidupnya melalui proses pembelajaran
kontekstual yang memungkinkan siswa menemukan masalah, mencari
informasi, menguatkan, memperluas serta memecahkan masalahnya sendiri
untuk selanjutnya menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam
berbagai macam tatanan kehidupan sosial.
Melalui Upacara adat
seren taun di kasepuhan adat Banten Kidul terutama di Kasepuhan Cisitu
dan Kasepuhan Cisungsang terdapat salah satu contoh “model” yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Istilah “Pongokan” menarik
perhatian penulis untuk dijadikan referensi bagi siswa untuk mengkaji
norma yang hidup dalam masyarakat sebagai aktualisasi nilai dan norma
kehidupan bersama. Betapa tidak ketika dalam pembelajaran pertama
dikelas penulis bertanya tentang hakikat norma dalam kehidupan bersama,
ternyata tidak ada satu pun siswa yang bisa menyatakan pendapatnya.
Begitupun ketika penulis mencoba memberikan informasi dan contoh
beberapa aturan sekolah yang ada, hanya ada beberapa siswa yang dapat
menyampaikan rasionalisasi nya. Selanjutnya ketika penulis coba
melakukan pendekatan “Role Playing” atau bermain peran,
ternyata hanya beberapa siswa yang aktif menampilkan perannya dan hanya
sepertiga siswa saja yang dapat menyimpulkan dari permainan yang
disajikan.
Berangkat dari hasil evaluasi dikelas tersebut, maka
penulis mencoba untuk memberikan tugas membuat catatan informasi secara
Individu dan membuat makalah kelompok tentang Nilai dan Norma yang
berlaku dalam masyarakat tempat tinggal siswa, untuk selanjutnya dapat
dipresentasikan di depan Kelas. Hasil yang didapat ternyata 4 (empat)
dari 5 (Lima) kelompok menyajikan “Upacara Adat Seren Taun” sebagai Tema
tugas atau makalah yang dibuat. Setelah melalui proses presentasi dan
interaksi, siswa yang dapat menyimpulkan materi mengalami peningkatan
yang cukup signifikan, lebih dari 2/3 siswa secara aktif menyebutkan
pemaknaan dari hakekat norma dalam kehidupan bersama.
Berangkat
dari pengalaman pembelajaran tersebut, penulis melanjutkan materi
tersebut dengan mencoba melakukan proses yang penulis namakan sebagai
pembelajaran berbasis pendekatan lingkungan. Siswa diminta untuk membuat
daftar ceklis kegiatan dalam konteks menampilkan sikap positif terhadap
norma dalam kehidupan, terutama norma Adat Istiadat yang penulis
istilahkan sebagai “Local Fundamental Norm” atau Norma Dasar di lingkungan tempat tinggal.
Setelah
menerima hasil tugas tersebut, proses selanjutnya penulis coba
integrasikan dengan instrumen skala sikap yang telah dipersiapkan. Hasil
kesimpulan yang didapat ternyata siswa lebih cenderung bersikap positif
ketika aturan atau norma yang berlaku berasal dari nilai budaya yang
berkembang dalam suatu lingkungan terutama ketika norma tersebut berlaku
sebagai pedoman bagi kelangsungan hidup tempat mereka tinggal. Proses
terakhir dalam melakukan evaluasi terakhir, didapat hampir 90% siswa
dapat memaknai hakikat Norma dalam kehidupan bersama. Atas dasar hal
tersebut penulis berasumsi wahana kegiatan Upacara Adat Seren Taun
Kasepuhan Banten Kidul terutama di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan
Cisungsang dapat dijadikan salah satu contoh “corong pencarian”
informasi pemahaman tentang hakekat Norma Dalam Kehidupan Bersama
terutama dalam Norma Adat Istiadat, dan diharapkan dapat menjadi salah
satu sumber belajar demi terwujudnya Learning to know dan Learning to Live together.
V. PENUTUP
Pemahaman
dan pemaknaan Siswa terhadap Norma dalam Kehidupan bersama salah
satunya akan terlihat melalui proses pembelajaran berbasis pendekatan
lingkungan. Dengan pendekatan tersebut setidaknya siswa dapat memahami
hakekat Norma kehidupan yang berlaku dilingkungan tempat mereka tinggal,
untuk selanjutnya dapat diaktualisasikan di berbagai lingkungan seperti
sekolah dan lingkungan keluarga. Upacara Adat Seren Taun di Kasepuhan
Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang sebagai salah satu Kasepuhan yang berada
di lingkup Kasepuhan Adat Banten Kidul telah membuka mata kita bahwa
sumber belajar sesungguhnya dapat ditemukan dilingkungan tempat kita
tinggal, serta dapat dijadikan wahana pembelajaran dalam memberikan
pemaknaan dan pemahaman kepada siswa tentang hakekat Norma Adat Istiadat
yang merupakan bagian dari Norma Dalam Kehidupan bersama.
Akhirnya
Dengan Kegiatan / Upacara Adat seren Taun di Kasepuhan Banten Kidul
sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa, penulis berharap
mudah-mudahan contoh pendekatan ini dapat dijadikan salah satu referensi
dalam menciptakan iklim pembelajaran kondusif yang mendorong
terwujudnya proses pembelajaran yang aktif, kreatif efektif dan
bermakna, dengan menekankan pada belajar mengetahui (Learning to Know), Belajar berkarya (Learning to do), belajar menjadi diri sendiri (Learning to be), dan belajar hidup bersama secara harmonis (Learning live together). Semoga!
Pendidikan,
Kebudayaan dan Adat Istiadat menghampar ibarat pasir namun bagaikan dua
sisi mata uang, satu sisi bermanfaat tetapi disisi lain terhempas
angin. (Kidung Karuhun)
The best.......
BalasHapusNuhun
BalasHapus