Rabu, 13 Oktober 2021

Nilai Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten Dalam Upaya Membangun Karakter Bangsa (Studi Etnografi Pada Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten)

Keywords:        Kearifan Lokal, Budaya, Karakter Bangsa

Abstract:           Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakan dengan kebudayaan  lain  yaitu  dikenal  dengan  masyarakat  religius.  Pada  kebudayaan Sunda  keseimbangan  magis  (dalam  ilmu  hukum  adat  disebut  religio  magis) dipertahankan  dengan  cara  melakukan  upacara-upacara  adat,  sedangkan keseimbangan  sosial  masyarakat  Sunda  dilakukan  dengan  gotong  royong.  Salah  satu  kebudayaan  Sunda  yang  masih bertahan  adalah tradisi Upacara adat Serentaun pada Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten. Ritual ini merupakan salah satu contoh kearifan lokal dari hal adat istiadat yang didalamnya terdapat beberapa aktivitas yang sarat akan nilai positif seperti : Ngarasul, Pongokan, Ngalaukan dan Balik Taun. Tradisi tersebut sejatinya mengandung nilai-nilai positif karakter bangsa. Artikel ini membahas tentang Nilai-nilai Kearifan lokal masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten dalam Upaya membangun karakter Bangsa. Masalah ini telah menarik perhatian kami untuk melakukan penelitian ilmiah. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi Etnografi. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun ini memiliki ragam aktivitas masyarakat yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia, terutama Lima karakter utama dalam mengimplementasikan Penguatan pendidikan karakter (PPK) yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), Yaitu: Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotongroyong dan Intergritas..


1    INTRODUCTION

Nilai-nilai positif bangsa seperti Nasionalisme, Nilai religius, nilai kemanusiaan, integritas, persaudaraan, gotong royong, dan sikap  ketauladanan saat ini  mulai  banyak  terkikis  di  dalam  lingkungan  budaya masyarakat. Masuknya era Globalisasi setidaknya mempengaruhi sikap dan paradigma berpikir masyarakat saat ini seperti munculnya modernisme budaya konsumtif, egoisme individu dan kelompok sampai pada titik yang memprihatinkan adalah praktik mengahalalkan segala cara.  Hal tersebut menandakan eksistensi budaya dan nilai nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sampai saat ini belum optimal dalam upaya membangun karakter masyarakat dalam hal ini karakter warganegara, bahkan setiap saat kita saksikan berbagai macam tindakan Pathology Sosial (penyakit sosial masyarakat) yang berakibat pada kehancuran suatu bangsa yakni menurunnya perilaku sopan santun, kejujuran, kebersamaan dan gotong royong diantara anggota masyarakat. Sejalan dengan pernyataan di atas, diduga sumber terjadinya berbagai perilaku buruk di masyarakat adalah munculnya kebencian sosial budaya terselubung  (socio-cultural animosity)  (Budimansyah, 2010,hlm.7).

Sehubungan dengan hal tersebut menurut Lickona (1992, hlm.32) terdapat 10 (sepuluh) tanda dari perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa  yaitu : (1)Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; (2) Ketidakjujuran yang membudaya; (3) Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pigur pemimpin; (4) Pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan; (5) meningkatnya kecurigaan dan kebencian; (6) Penggunaan bahasa yang memburuk; (7) Penurunan etos kerja; (8) Menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warganegara; (9) Meningginya prilaku merusak diri; (10) Semakin kaburnya pedoman moral

Sepuluh tanda perilaku tersebut dikhawatirkan membawa dampak sosial yang menyebabkan benturan  nilai, pada kondisi tertentu masyarakat akan mengalami krisis identitas, tidak mustahil jika terus berlarut berpotensi pula terjadi perpecahan bangsa. Di dalam situasi kebingungan mencari rujukan untuk memecahkan berbagai macam persoalan, ada kecenderungan sebagian masyarakat kita ingin kembali pada kearifan lokal yang sudah teruji berabad-abad lamanya dalam mengatasi berbagai macam persoalan kehidupan.

Kecintaan terhadap budaya lokal merupakan salah satu wujud dari rasa memiliki yang tinggi terhadap nilai kearifan lokal disuatu daerah. Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba (2007, hlm.330) mengatakan bahwa: “kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat”.

Kearifan lokal sebagai bagian dari konstruksi budaya menurut Haba ini, menunjukan bahwa nilai nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat digunakan sebagai panduan dan tuntuntan dalam menjalankan setiap aktivitas sosialnya. Untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka perlu memahami nilai-nilai budaya baik yang ada di dalam wilayah tersebut, seperti beberapa budaya adat daerah yang diwujudkan   dalam  berbagai  bentuk  kegiatan  seperti  upacara-upacara  adat yang dilakukan secara turun-temurun.

Salah  satu  kebudayaan  Sunda  yang  masih  bertahan kelestariannya yaitu ritual upacara adat Serentaun pada masyarakat adat Cisitu Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Banten. Ritual ini merupakan salah satu contoh kearifan lokal dari hal adat istiadat,  di  samping  nilai,  norma,  etika,  kepercayaan,  hukum  dan  aturan -aturan khusus lainnya yang terdapat pada masyarakat tradisional ini. 

Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun  ini merupakan salah satu dari sekian banyak aktivitas yang menjadi corak masyarakat Adat Cisitu, ragam aktivitas masyarakat adat Cisitu setidaknya memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia, terutama dalam mengimplementasikan 5 (Lima) nilai utama karakter Bangsa dalam program Penguatan pendidikan karakter (PPK), yaitu, Religius, Nasionalis, Kemandirian, Gotongroyong dan Integritas.

Pembangunan karakter bangsa melalui kearifan budaya lokal sangatlah dibutuhkan. Pembangunan karakter bangsa dapat ditempuh dengan cara menerapkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa merupakan Fondasi bagi kuat dan kokohnya nilai kebangsaan Indonesia dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Budimansyah (2010, hlm.1) pembangunan bangsa dan pembangunan  karakter  (nation  and  character  buiding)  merupakan  dua  hal  utama  yang  perlu dilakukan bangsa Indonesia agar dapat mempertahankan eksistensinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam artikel ini yaitu “Bagaimana Nilai-Nilai kearifan lokal masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten dalam upaya membangun karakter bangsa?”.

 

2  THEORITICAL

2.1     Kebudayaan

Dari segi etimologis, kebudayaan berasal dari kata budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009, hlm.73) bahwa: Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kata asing culture yang berasal dari kata Latin colere (yaitu “mengolah”, atau “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah mengubah alam”.

Dengan demikian Kebudayaan merupakan sebuah gagasan yang berasal dari hasil karya, rasa, dan cipta manusia dengan belajar sebagai pedoman bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat. Budaya diciptakan oleh manusia, begitu pula sebaliknya bahwa manusia diciptakan oleh budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan melalui cara apapun.

Selanjutnya wujud dari kebudayaan adalah sebuah sistem, hal ini disampaikan oleh Koentjaraningrat, (2009, hlm. 150) bahwa “Menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Oleh karena itu wujud kebudayaan dibedakan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. (Honingman, 1959; Koentjaraningrat, 2009) .

Selain  dari  ketiga  wujud  kebudayaan  di  atas,  Koentjaraningrat  (2009, hlm.165) menyebutkan terdapat tujuh unsur kebudayaan, yaitu: (1)  Bahasa, (2)  Sistem pengetahuan (3) Organisasi sosial (4)  Sistem peralatan hidup dan tekhnologi, (5)  Sistem mata pencaharian hidup, (6)  Sistem religi, (7)  Kesenian.

2.2     Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Pengertian kearifan lokal menurut Rahyono (2009, hlm. 7) didefinisikan  sebagai sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, yang diperoleh melalui pengalaman etnis tersebut bergulat dengan lingkungan hidupnya. Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan karakter masyarakat, karena keberadaannya selalu dilaksanakan dan dilestarikan, dalam kondisi tertentu malah sangat dihormati.

Sementara Suhartini (2009, hlm.1) mendefinisikan kearifan lokal sebagai warisan nenek moyang yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai kehidupan ini menyatu tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam budaya dan adat istiadat. Ketika sebuah masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya, mereka mengembangkan suatu kearifan baik yang berwujud  pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.

2.3       Pembangunan Karakter Bangsa

Karakter merupakan pola prilaku yang melekat pada seseorang, seperti apa yang diungkapkan oleh Komalasari dan Saripudin (2017,hlm.1) bahwa karakter melekat pada setiap individu, yang tercermin pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Karakter seseorang dipengaruhi oleh Faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature)

Sementara Zubaedi (2011, hlm.8)  mendefinisikan  karakter  sebagai  suatu  penilaian  subjektif terhadap kepribadian seseorang berkaitan dengan atribut kepribadian yang  dapat  atau  tidak  dapat  diterima  masyarakat.   Karakter  merupakan keseluruhan kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil  yang mendifinisikan  seseorang  individu  dalam  keseluruhan  tata  perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.

Upaya dalam membangun karakter bangsa penting untuk dikembangkan karena hal ini sejalan dengan pertimbangan Peraturan Presiden No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter point (b) yang menyatakan bahwa  dalam  rangka  mewujudkan bangsa  yang berbudaya  melalui penguatan nilai-nilai religius,jujur,  toleran,  disiplin,  bekerja  keras,  kreatif, mandiri,demokratis, rasa  ingin  tahu,  semangat  kebangsaan, cinta  tanah  air,  menghargai  prestasi,  komunikatif, cinta  damai,  gemar membaca,  peduli  lingkungan, peduli sosial, dan  bertanggung  jawab,  perlu penguatan  pendidikan karakter.

 

3   METHOD

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan maksud agar peneliti lebih leluasa dalam mengkaji dan menganalisis berbagai fenomena yang ditemui di lapangan secara komprehensif. Kemudian metode yang digunakan yaitu metode Etnografi karena Penelitian etnografi mempelajari peristiwa kultural, menyajikan pandangan hidup subjek studi dan merupakan model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat phenomenology”. Menurut Denzin,  (2000, hlm.457) penelitian etnografi  mendeskripsikan  tentang  cara berfikir,  cara  hidup,  cara  berperilaku  sebagai  social  settings  study”.  Penelitian ethnografi  merupakan  studi  terhadap  kelompok  budaya  yang  utuh  dan  alami selama jangka waktu tertentu. Selanjutnya (Grant & Fine, 1992; Spradley, 1980; Creswell,  2010)  menyatakan bahwa  proses  penelitian Etnografi bersifat fleksibel dan kontekstual  berkembang  sebagai respon  terhadap  realitas  hidup  yang  ditemui di lapangan dalam perspektif ontologis  nature  of  the  phenomena  atau kenyataan sosial.

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sementara itu untuk pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, studi dokumentasi dan studi literatur. Kemudian proses analisis data dalam penelitian ini, diantaranya reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 2007; Sugiyono, 2009)

Adapun lokasi penelitian ini terletak di dua Desa yaitu Desa Kujangsari dan Desa Situmulya Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten, karena masyarakat adat Cisitu ini bermukim di lokasi dua desa tersebut.

 

4  RESULT AND DISCUSSION

Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun masyarakat adat Cisitu Lebak Banten ini memiliki ragam aktivitas yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter utama bangsa Indonesia, yaitu Religius, Nasionalisme, Kemandirian, Gotongroyong dan Integritas.

Hasil wawancara dengan Kepala Adat (Kasepuhan) dan Tokoh masyarakat Adat serta hasil observasi terhadap aktivitas masyarakat adat Cisitu menunjukan bahwa dalam rangkaian upacara adat Serentaun terdapat Nilai-nilai kearifan Lokal diantaranya pertama  Prosesi Ngarasul atau aktivitas berkumpul untuk Berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk rasa syukur atas hasil pertanian yang diberikan, hal ini sebagai wujud Nilai Religius. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), “Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjungjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Berdasarkan hal tersebut Prosesi Ngarasul dianggap sebagai salah satu aktivitas yang mencerminkan keberimanan terhadap Tuahn Yang Maha Esa.

Nilai kearifan lokal yang Kedua adalah Pongokan yaitu Larangan beraktivitas dalam mengambil hasil alam dalam bentuk apapun menjelang acara ritual Upacara Adat Serentaun, Istilah Pongokan ini sebagai bentuk kepatuhan masyarakat yang kuat terhadap norma adat yang berlaku sebagai bagian dari nilai Integritas, Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-niai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karkter integritas meliputi sikap tanggungjawab sebagai warganegara, akibat terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Nilai Pongokan ini dianggap sebagai sikap tanggungjawab masyarakat adat dalam kehidupan sosialnya, dengan mematuhi segala aturan yang ditetapkan ini, maka masyarakat adat menganggap bahwa tindakan yang dilakukannya secara konsisten merupakan sebuah kebenaran tersendiri.

Selanjutnya Nilai kearifan Lokal yang Ketiga adalah Ngalaukan, Istilah Ngalaukan ini merupakan tradisi masyarakat untuk memberikan sebagian hasil bumi dan ternak kepada Kepala Adat (Kasepuhan) secara sadar dan tanpa paksaan untuk selanjutnya diolah dan dikonsumsi oleh seluruh warga masyarakat pada acara puncak upacara adat serentaun, aktivitas ini merupakan wujud nilai Kemandirian dan Gotongroyong antara sesama warga masyarakat. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), bahwa Nilai karakter Mandiri dan Gotongroyong merupakan sikap dan perilaku yang tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita, serta mencerminkan tindakan menghargai semangat kerjasama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Tradisi Ngalaukan dianggap oleh masyarakat adat sebagai wujud semangat kerjasama diantara warga dalam rangka saling membantu diantara sesama warga masyarakat dalam merealisasikan kelancaran agenda tradisi Serentaun.

Sedangkan Nilai kearifan Lokal yang keempat adalah Balik Taun, tradisi Balik Taun ini merupakan tradisi untuk kembali berkumpul atau pulang kampung bagi warga masyarakat adat yang berada diluar kota atupun luar negeri menjelang upacara adat serentaun. Tradisi ini sebagai bentuk tanggungjawab dalam menjaga serta memelihara ikatan silaturahmi diantara keluarga dan masyarakat adat secara umum. Selain itu dalam tradisi ini masyarakat adat melaporkan kepada kepala adat akan aktivitasnya diluar kota selama satu tahun. Tradisi ini sebagai wujud tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memelihara tradisi sebagai bagian daripada sikap Nasionalisme. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), bahwa Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Tradisi Balik Taun dianggap oleh masyarakat adat sebagai wujud penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik dan sosial budaya bangsa sebagai cerminan rasa nasionalisme dan rasa memiliki terhadap budaya bangsa.

Berdasarkan hal tersebut diatas, penerapan nilai-nilai kearifan lokal pada proses pelaksanaan upacara adat serentaun sebagai upaya dalam membangun karakter bangsa dapat dilakukan dengan  mengkonstruksi nilai tersebut kedalam wujud aktivitas keseharian masyarakat, hal ini sesuai dengan teori konstruksi sosial yang memandang manusia sebagai pencipta realitas mempunyai kemampuan untuk mengadakan objektivasi yang telah memanifestasikan diri ke dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya sebagai bagian dari kehidupan kolektif (Berger & Luckmann, 2013, hlm.47). Oleh karena manusia ditempatkan sebagai pencipta realitas, maka pengetahuan masyarakat mengenai kenyataan yang muncul dan nampak dalam kehidupan merupakan hasil dari konstruksi sosial.

Dengan demikian tradisi Ngarasul, Pongokan, Ngalaukan dan Balik Taun sebagai wujud nilai karakter Religius, Integritas, Kemandirian, Gotongroyong dan Nasionalisme, sejatinya merupakan warisan nilai leluhur yang senantiasa mutlak dilestarikan sebagai upaya membangun karakter bangsa yang diharapkan, hal ini  sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sapriya, (2007, hlm.24), bahwa Upaya membangun karakter warga negara pada dasarnya adalah proses pewarisan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi negara serta pesan para pendiri negara.

5          CONCLUSSION

Upacara adat Serentaun masyarakat Cisitu Lebak Banten merupakan salah satu budaya dan tradisi masyarakat Sunda yang masih bertahan ditengah-tengah arus Globalisasi saat ini. Dalam Proses pelaksanaan tradisi ini terdapat ragam aktivitas yang mengandung Nilai-nilai Kearifan Lokal yang dapat membangun karakter bangsa. Nilai nilai tersebut diantaranya pertama terdapat Prosesi Ngarasul sebagai wujud Nilai Religius atau nilai ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kedua Pongokan sebagai bentuk kepatuhan masyarakat yang kuat terhadap norma adat yang berlaku sebagai bagian dari nilai Integritas, Ketiga Ngalaukan, merupakan wujud nilai Kemandirian dan Gotong royong antara sesama warga masyarakat adat. keempat Tradisi Balik Taun,  sebagai wujud tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memelihara tradisi sebagai bagian daripada sikap Nasionalisme. Dengan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal tersebut, maka masyarakat adat Cisitu dapat menginternalisasi nilai dan mengkonstruksinya kedalam wujud aktivitas keseharian, hal ini dianggap sebagai upaya membangun karakter bangsa yang diharapkan.

References

Berger, Peter. L dan Luckmann, Thomas (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES

Budimansyah, D. 2010.  Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Creswell,  John.W.  2010.  Research  Design:  Pendekatan  Kualitatif,  Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Denzin and Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication

Grant,  L.,  &  Fine,  G.  A.  1992.  Sociology  unleashed:  Creative  directions  in classical  ethnography.  In  M.  D.  LeCompte,  W.L.  Millroy,  &  J.  Preissle (Eds.),  The Handboks of Qualitattive reserach in Education  (pp.405-446). New York: Academic Press.

Haba,  John.  2007.  Revitalisasi  Kearifan  Lokal:  Studi  Resolusi  Konflik  di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan European Commission.

Honigman,J.J. (1959). Culture and Personality. New York: Harper & Brothers.

Kementrian Pendidikan Nasional. 2017. Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter,Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Komalasari, K dan Saripudin, D. 2017. Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasi Living Values Education.Bandung : Refika Aditama

Koentjaraningrat, (2009).Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta

Lickona, Thomas. 1992. Educating For Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York

Miles, M & Huberman, A. M. (2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI-Press

Rahyono, F . X. 2009.  Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta:  Wedatama  Widya Sastra

Sapriya. “Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam MembangunKarakter Warga Negara.”  Jurnal Sekolah Dasar Tahun 16 Nomor I, Mei 2007.

Spradley. J.P 1980. The Participation Observation. New York : Reinhart & Winston

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Pendekatan Kualitatif dan R&D). Bandung: ALFABETA.

Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan penerapan MIPA [16 Mei 2009]. Yogyakarta. [Internet]. [diakses 17 April 2014]. Dapat diunduh dari:http://www.search document.com/pdf/1/KajianKearifan-Lokal-Masyarakat-dalam-Pengelolaan-Sumberdaya-Alam-danLingkungan.html

Zubaedi. 2011. Pendidikan Karakter:Konsep dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana