Jumat, 19 Desember 2014

MENAKAR PEMAHAMAN SISWA TTG HAKIKAT NORMA DLM KEHIDUPAN BERSAMA MELALUI UPACARA ADAT “SEREN TAUN KASEPUHAN ADAT BANTEN KIDUL"

  PENDAHULUAN
Masyarakat Wilayah Banten Selatan tepatnya di Kabupaten Lebak bagian selatan memang selama ini dikenal mempunyai corak budaya tersendiri dalam kehidupan bermasyarakatnya, khususnya sebagian masyarakat yang berdomisili dan bermukim di wilayah pelataran kaki Gunung Halimun-Salak. Corak Budaya masyarakat di wilayah Banten Selatan ini lebih dikenal sebagai Masyarakat Adat atau lebih Populer dikenal sebagai wilayah Adat Kasepuhan. Mengapa demikian? Karena dalam struktur masyarakat adat kasepuhan selain terdapat sistem “kepemimpinan Formal” (Baca: Kepala Desa, Camat, Bupati dan Seterusnya), terdapat pula sistem “kepemimpinan tradisional” yang dipimpin oleh Pemangku Adat atau Sesepuh. Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, Pemangku Adat / Sesepuh biasanya disebut sebagai Olot atau Abah yang memainkan peran sebagai salah satu figur yang dipercaya sebagai pengatur pola kehidupan Masyarakatnya.  Sebenarnya Bukan hanya di Banten selatan saja terdapat pola kehidupan masyarakat seperti ini, di wilayah bagian utara Kabupaten Lebak seperti wilayah Guradogpun masih terdapat pula masyarakat adat, bahkan di beberapa daerah di Indonesia  terutama daerah agraris, terdapat pula corak budaya masyarakat kasepuhan seperti ini meski namanya mungkin berbeda-beda. Di Kasepuhan Banten Kidul saja, setidaknya kurang lebih ada 15 (Lima Belas)  Kasepuhan / warga adat yang tergabung dalam Serikat Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari ke 15 Kasepuhan tersebut diantaranya adalah Kasepuhan Ciherang, Citorek, Cicarucub, Cisungsang, Cisitu, Cipta gelar/Cicemet (Khusus untuk Ciptagelar/Cicemet wilayah administratif nya berada pada perbatasan Jawa Barat dan Banten tepatnya di Kabupaten Sukabumi), dan Kasepuhan-kasepuhan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas secara rinci dan mendalam tentang Epistimologi Masyarakat Adat, Apa dan Bagaimana Pola Kehidupan Masyarakat adat, apalagi berani menelusuri sejarah Kasepuhan Banten Kidul. Dalam artikel ini penulis hanya akan coba membatasi masalah Norma Adat Istiadat yang berlaku hubungannya dengan pemahaman siswa tentang Hakekat Norma dalam kehidupan bersama. Walaupun secara empiris indikator Pemahaman sulit untuk di ukur,  namun setidaknya langkah awal dalam menilai sejauh mana pengatahuan siswa tentang hakekat Norma dalam kehidupan bersama dapat dilihat dari bagaimana siswa dapat memahami dan memaknai dulu Nilai-nilai dan norma yang ada dilingkungan sosial tempat ia berada melalui Adat Istiadat yang berlaku terutama dalam acara Seren Taun yang telah dilaksanakan di 2(dua) wilayah kasepuhan yang penulis amati dan telusuri, yakni Kasepuhan Adat Cisungsang dan Kasepuhan Adat Cisitu yang berada di wilyah administratif Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten, untuk selanjutnya dapat dijadikan referensi bagi siswa dalam mengkaji Norma-norma kehidupan demi kepentingan akademik mereka dengan harapan dapat ditampilkan dalam kehidupan nyata baik di sekolah, keluarga dan masyarakat. Anggapan Dasar yang coba penulis kemukakan adalah Upacara Adat Seren Taun sebagai aktualisasi dari nilai dan norma yang berlaku sekaligus puncak ritual pada masyarakat adat kasepuhan Banten kidul dalam hubungannya dengan penerapan pemahaman siswa/Peserta didik terutama siswa SMP Negeri 7 Cibeber tentang Hakikat Norma dalam Kehidupan. Anggapan Dasar yang penulis ajukan berdasar pada upaya penulis untuk memberikan stimulus kepada siswa SMP Negeri 7 Cibeber yang cenderung berada di lingkup wilayah ke dua kasepuhan tersebut untuk lebih bersikap peka terhadap norma dalam kehidupan bersama, sekaligus menawarkan solusi atas keterbatasan media dan informasi dalam Pembahasan Materi “Norma Dalam Kehidupan Bersama” pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah, terutama sekolah yang berada jauh dari pusat kota seperti halnya di SMP Negeri 7 Cibeber ini. Adapun Tujuan dari penulisan ini adalah siswa diharapkan mempunyai pengalamannya sendiri dalam mengetahui, mendeskripsikan, memahami dan bisa menampilkan sikap positif terhadap pentingnya Norma dalam kehidupan bersama. Tulisan ini Tentunya disajikan secara sederhana dengan segala keterbatasan data dan pemahaman penulis.

II.        HAKIKAT NORMA DALAM KEHIDUPAN
Norma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima. Selain itu ada pula yang menyebutkan bahwa norma adalah kaidah atau aturan yang disepakati dan memberi pedoman tingkah laku bagi para anggotanya dalam mewujudkan sesuatu yang dianggap baik, benar dan diinginkan (Tim Abdi Guru, 2006 : 2). Berdasarkan pendapat tersebut, secara singkat Norma dapat diartikan sebagai kaidah atau pedoman dalam mewujudkan suatu nilai. Norma berfungsi untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks interaksi sosial Norma berisi perintah dan larangan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama, bertujuan untuk mengatur setiap warga masyarakat sehingga ketertiban dan keamanan dapat tercapai. Norma-norma yang mengatur masyarakat pada umumnya ada yang bersifat formal (resmi /tertulis) dan ada yang bersifat nonformal (Tidak resmi/tidak tertulis).
Seperti diketahui Norma yang bersifat Formal (Resmi/Tertulis) berasal dari lembaga atau institusi resmi negara yang berlaku untuk semua Warganegara tanpa kecuali, ia dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat Keputusan (SK) dan lain sebagainya yang bersumber dari Negara. Secara prinsip norma yang bersifat Formal bisa dikatakan sebagai Norma Hukum yang memiliki sanksi yang tegas dan memaksa bagi pelanggarnya.
Sedangkan Norma yang bersifat Nonformal (Tidak resmi/tidak tertulis) mengacu pada aturan yang tidak tertulis tetapi diakui keberadaannya di Masyarakat. Khusus untuk Norma yang bersifat nonformal ini dapat diklasifikasikan  menjadi dua Macam.
Pertama, Norma yang bisa ditentukan dan dilihat dari jenis sanksinya, sebagai Contoh :
a.  Norma Agama, yang bersifat abadi dan universal berasal dari wahyu Tuhan YME, serta memiliki sanksi secara tidak
      langsung.
b.  Norma Susila, yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, memiliki sanksi
     yang tidak tegas bagi para pelanggarnya seperti perasaan bersalah, malu dan menyesal apabila melakukan perbuatan
     tidak jujur, tidak adil, dan tidak menghargai orang lain.
c.  Norma Kesopanan, yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia didalam masyarakat dan dianggap sebagai
     tuntunan interaksi sosial masyarakat itu yang bersifat relatif, mempunyai sanksi tidak tegas tetapi dapat diberikan oleh
     masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dari pergaulan bagi si pelanggarnya.
Kedua, Norma dilihat berdasarkan kekuatan mengikatnya, biasanya dapat berupa Cara, Kebiasaan, Tata kelakuan dan  Adat Istiadat. Norma-norma tersebut ada dan hidup dalam masyarakat dengan mempunyai kekuatan pengikat yang berbeda-beda. Ada yang ikatannya lemah, sedang dan ada yang kuat. Biasanya, masyarakat tidak berani melanggar norma yang kuat Ikatannya seperti Adat Istiadat.

III.      UPACARA ADAT SEREN TAUN KASEPUHAN ADAT BANTEN KIDUL SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN NORMA ADAT ISTIADAT.
Seperti Pada umumnya masyarakat Desa di Indonesia, pola hubungan masyarakat dan pemimpinnya dapat dikatakan masih bersifat Paternalistis, karena kenapa? Dalam terminologi Sosiologi Masyarakat Desa, di Indonesia masih banyak ditemui komunitas atau kelompok dimana hubungan antara anggota masyarakat masih didasarkan pada pola Patron-klien, atau secara sederahana menurut beberapa pakar sosiologi kemasyarakatan diartikan sebagai hubungan  “Kebapak-an / Bapak-Anak”. Dalam pola ini, tingkah laku masyarakat akan banyak mengikuti tokoh yang dianggap menjadi panutan mereka tanpa mempersoalkan benar atau salah. Aturan atau kebijakan yang berasal dari tokoh tersebut menjadi suatu pedoman dan nilai yang harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagai norma hidup masyarakatnya. Pola seperti ini berkembang secara terus menerus disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga membentuk suatu sistem nilai yang pada akhirnya terciptalah apa yang di Sebut Adat Istiadat.
Menurut Bachsan Mustafa dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia Terpadu (2003), Adat Istiadat merupakan pola-pola prilaku yang diakui sebagai hal yang baik dan dijadikan sebagai hukum tidak tertulis dengan sanksi yang berat. Sanksi atau hukuman diberikan oleh orang yang paling mengetahui seluk beluk adat, seperti pemimpin adat, pemangku adat, atau kepala suku. Misalnya dalam masyarakat dikenal istilah “Tabu” Pamali atau pantangan, sesuatu yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Seandainya itu dilanggar, maka bencana akan menimpa seluruh warga dan si pelaku akan di kenai sanksi. Dengan demikian Norma adat Istiadat bisa dikatakan sebagai kumpulan tata kelakuan atau kaidah-kaidah sosial yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya (masyarakat yang berada pada lingkungan adat), dikatakan demikian karena kaidah-kaidah sosial tersebut sudah ada sejak lama dan telah menjadi kebiasaan dalam mayarakat.

Koentjaraningrat (dalam Nur Asiah, 2009:8) pernah menyebut adat Istiadat sebagai kebudayaan Abstrak atau sistem nilai, yang terdiri dari 4 (empat) unsur yang saling berkaitan, yakni : Nilai-nilai Budaya, sistem norma, Sistem Hukum, dan aturan-aturan khusus. Berdasarkan pendapat tersebut penulis menangkap kebudayaan Abstrak atau sistem nilai yang dimaksud Koentjaraningrat adalah sebagai akumulasi dari perwujudan ke empat unsur tersebut sehingga menciptakan norma yang tidak tertulis dan berlaku sebagai pedoman tatanan kehidupan sosial, disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan diyakini kebenarannya, sehingga umumnya orang meyakini bahwa adat istiadat merupakan kehendak nenek moyang. Oleh karena itu aturan-aturan yang ditetapkan oleh Adat harus dijalankan. Dengan demikian masyarakat/warga adat akan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penyakit dan bencana.
Adalah Upacara Adat Seren Taun yang menjadi puncak ritual adat Kasepuhan Banten Kidul menjadi sebuah agenda rutin tiap tahunnya yang diselenggarakan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, dimana Upacara Adat ini oleh masyarakat sosialnya di “Tasbihkan” sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas karunia yang telah diberikan kepada Warga Masyarakat karena telah dilimpahkan hasil bumi berupa Padi sebagai Bahan kebutuhan Pokok/Utama makanan warga. Berdasarkan keterangan narasumber yang berhasil penulis temui, diantaranya Abah Marja (selaku salah satu sesepuh di Kasepuhan Cisitu) dan Bapa Atjaya (Selaku Tokoh Adat dan Masyarakat), pada Prinsipnya Seren Taun bararti Saresehan atau Menyerahkan rasa syukur kepada para leluhur.
Adapun Rangkaian  seren Taun yang dilaksanakan di Kasepuhan Masyarakat Adat Cisitu secara ringkas adalah :
1.    Beberapa Hari sebelum pelaksanaan seren taun Para Rendangan (Orang yang dipercaya memegang garis keturunan)
       mendata keluarga/Warga adat yang diampunya untuk proses “mengembalikan Anak Cucu” atau kembalinya keturunan
       warga adat Cisitu dimanapun berada untuk kembali ke kampung halaman. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara
       jelas berapa jumlah orang atau anggota keluarganya yang terikat dalam pelaksanaan Seren taun.
2.    Pengiriman Do’a untuk para karuhun yang dilaksanakan oleh para warga adat sebelum upacara adat dilaksanakan.
3.    Puncak acara ritual yang dipimpin oleh Kordinator Sesepuh /Abah. (di Kasepuhan Cisitu bertindak sebagai  Pemimpin
       Upacara adat adalah Abah H.Okri). Biasanya puncak ritual ini dihadiri oleh berbagai tamu Undangan termasuk dari
       Instansi Pemerintahan, Bahkan Gubernur dan Bupati pun biasanya hadir dalam acara ini.
4.    Dalam Puncak acara seren taun biasanya ditampilkan pula seremoni teatrikal proses penanaman padi, panen raya,
       hingga “Netebkeun/Ngadiukeun Indung” (menyimpan Padi Ke Tempatnya/Leuit) diiringi kesenian tradisonal setempat,
       seperti dog-dog Lojor.
5.    Puncak Acara seren taun ditutup oleh acara “Ngarasul”, artinya Tutup Do’a untuk Sang Maha Pencipta dan Karuhun
        serta “Babagi Panglay, kemenyan, dsb.” untuk kepentingan menanam Padi, Berkebun, beternak dan Lain
        sebegaianya.

Sedangkan di Kasepuhan Adat Cisungsang, berdasarkan berbagai sumber, secara umum ada tiga kegiatan pokok yang tidak boleh dilewatkan dalam rangkaian seren taun, yaitu menampilkan kesenian tradisional, mengirim doa kepada karuhun, serta mengirim doa kepada Yang Maha Kuasa dipimpin oleh Abah. Di Kasepuan Adat Cisungsang sendiri bertindak sebagai Pemangku Adat atau sesepuh adalah Abah Usep Suyatma. Berikut secara ringkas rangkaian Acara Seren Taun Cisungsang :
1.      Acara seren taun di Cisungsang dimulai dengan acara rasul pare di leuit, yaitu mempersembahkan tumpeng rasul dan bekakak ayam jantan berwarna kuning keemasan. Kegiatan ini dipimpin Abah Usep Suyatma yang didampingi 7 orang pake-pake kolot (sesepuh yang diambil berdasarkan garis keturunan). Ritual ini untuk menentukan kapan puncak seren taun kali ini berlangsung. Kegiatan ini tertutup bagi anggota warga adat lainnya, apalagi orang luar. 6 (enam) Hari sebelum puncak acara hanya diisi dengan kegiatan sakral dan doa-doa masing-masing anggota warga adat.
2.       2 (dua) hari sebelum upacara, berlangsung acara balik taun rendangan atau kembalinya para keturunan Warga Adat Cisungsang ke kampung halaman leluhur, bahkan ada pula warga yang datang dari pelosok Banten atau bahkan nusantara. Pada acara ini, semua rendangan melaporkan segala hal kepada Abah sambil membawa buah tangan dari tempat mereka mencari kehidupan. Setiap rendangan akan melapor secara khusus satu per satu.
3.      Puncak seren taun diisi dengan Upacara Ritual yang dipimpin oleh Abah Usep, diisi dengan pertunjukan kesenian yang menggambarkan kegiatan warga adat bercocok tanam mulai dari menebar benih hingga memanen. Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan menyimpan sebagian hasil panen ke dalam lumbung (leuit) sebagai cadangan pangan jika terjadi gagal panen atau datang musibah. Dengan demikian, warga adat tak akan kelaparan. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan ramah-tamah antara seluruh anggota warga adat dengan pemerintah dalam hal ini jajaran Pemkab Lebak dan Pemprov Banten.
4.      Sehari setelah Upacara, rangkaian acara dilanjutkan dengan rasul seren taun, yaitu mengirim doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dipimpin oleh Abah Usep.
5.      Acara penutupan rangkaian seren taun diisi Acara “panadaran”. Closing ceremony biasanya hanya dihadiri para rendangan yang setelah itu kembali melanjutkan kehidupan mereka masing-masing dengan harapan bisa bertemu lagi di seren taun tahun depan.

Dari serangkaian Acara Seren Taun yang dilaksanakan khususnya di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang serta di Kasepuhan Adat Banten Kidul pada umumnya, ada suatu hal yang sangat penting dan tidak boleh dilupakan serta wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh warga adat yang terikat, hal tersebut berupa Pantangan. Di Kasepuhan Cisitu dan Cisungsang sendiri pantangan ini dinamakan “Pongokan”, yang artinya tenggat waktu selama 7 (tujuh) atau 8 (Delapan) hari sebelum / menjelang Acara Puncak Ritual Adat Seren Taun dilaksanakan, warga Adat tidak diperkenankan melakukan aktivitas pokok, Seperti melakukan aktivitas di Sawah, bercocok tanam, menuai hasil kebun, dan lain sebagainya. Baru setelah 1 (satu) hari dari Acara terakhir yaitu “Tutup Rasul” yang ditandai dengan pembagian bahan dan rupa-rupa “bekal” (seperti yang disebutkan diatas) dari Abah/sesepuh, maka warga adat diperkenankan kembali untuk melakukan aktivitas kesehariannya. Istilah “Pongokan” ini dipercaya oleh warga adat sebagai nilai yang mengandung unsur “Tabu” atau “pamali” yang jika dilanggar akan mendapatkan sanksi berupa bencana atau musibat yang tidak diinginkan.
Kandungan isi “Pongokan” inilah sesungguhnya yang menjadi urgensi dalam tulisan ini, dimana “Pongokan” ini penulis anggap sebagai suatu norma atau kaidah nilai adat istiadat yang berlaku sebagai pedoman hidup bagi warga adat di Kasepuhan Cisitu dan Cisungsang pada khususnya. Tidak terkecuali bagi anak-anak siswa SMPN 7 Cibeber yang cenderung berada dilungkup wilayah adat tersebut. Istilah “pongokan” ini pula dipakai oleh penulis sebagai salah satu model contoh norma  terutama Norma Adat Istiadat yang berlaku dalam kehidupan bersama, sehingga pada akhirnya siswa dengan sendirinya dapat mengetahui dan merasakan adanya Norma dalam kehidupan sosialnya.

IV.      PEMAHAMAN SISWA TERHADAP NORMA DALAM KEHIDUPAN BERSAMA
Dalam berbagai konteks pembelajaran dari mulai kurikulum 1994 dengan CBSA nya, tahun 2004 atau KBK dengan model CTL (Contekstual Teaching Learning) dan Life skil nya,  sampai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai Kurikulum Penyempurnaan (2006- sekarang) dengan berbagai model dan pendekatan PAKEM nya, pada hakekatnya bermuara pada satu konsep general yang menggariskan bahwa siswa atau Peserta Didik didorong untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya untuk diintegrasikan dengan penerapannya dalam kehidupan mereka di dunia nyata sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Adapun pengetahuan yang dimiliki siswa/peserta didik dapat digali dari pengalaman Hidupnya melalui proses pembelajaran kontekstual yang memungkinkan siswa menemukan masalah, mencari informasi, menguatkan, memperluas serta memecahkan masalahnya sendiri untuk selanjutnya menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam berbagai macam tatanan kehidupan sosial.
Melalui Upacara adat seren taun di kasepuhan adat Banten Kidul terutama di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang terdapat salah satu contoh “model” yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Istilah “Pongokan” menarik perhatian penulis untuk dijadikan referensi bagi siswa untuk mengkaji norma yang hidup dalam masyarakat sebagai aktualisasi  nilai dan norma kehidupan bersama. Betapa tidak ketika dalam pembelajaran pertama dikelas penulis bertanya tentang hakikat norma dalam kehidupan bersama, ternyata tidak ada satu pun siswa yang bisa menyatakan pendapatnya. Begitupun ketika penulis mencoba memberikan informasi dan contoh beberapa aturan sekolah yang ada, hanya ada beberapa siswa yang dapat menyampaikan rasionalisasi nya. Selanjutnya ketika penulis coba melakukan pendekatan “Role Playing” atau bermain peran, ternyata hanya beberapa siswa yang aktif menampilkan perannya dan hanya sepertiga siswa saja yang dapat menyimpulkan dari permainan yang disajikan.
Berangkat dari hasil evaluasi dikelas tersebut, maka penulis mencoba untuk memberikan tugas membuat catatan informasi secara Individu dan membuat makalah kelompok tentang Nilai dan Norma yang berlaku dalam masyarakat tempat tinggal siswa, untuk selanjutnya dapat dipresentasikan di depan Kelas. Hasil yang didapat ternyata 4 (empat) dari 5 (Lima) kelompok menyajikan “Upacara Adat Seren Taun” sebagai Tema tugas atau makalah yang dibuat. Setelah melalui proses presentasi dan interaksi, siswa yang dapat menyimpulkan materi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, lebih dari 2/3 siswa secara aktif menyebutkan pemaknaan dari hakekat norma dalam kehidupan bersama.
Berangkat dari pengalaman pembelajaran tersebut, penulis melanjutkan materi tersebut dengan mencoba melakukan proses yang penulis namakan sebagai pembelajaran berbasis pendekatan lingkungan. Siswa diminta untuk membuat daftar ceklis kegiatan dalam konteks menampilkan sikap positif terhadap norma dalam kehidupan, terutama norma Adat Istiadat yang penulis istilahkan sebagai “Local Fundamental Norm” atau Norma Dasar di lingkungan tempat tinggal.
Setelah menerima hasil tugas tersebut, proses selanjutnya penulis coba integrasikan dengan instrumen skala sikap yang telah dipersiapkan. Hasil kesimpulan yang didapat ternyata siswa lebih cenderung bersikap positif ketika aturan atau norma yang berlaku berasal dari nilai budaya yang berkembang dalam suatu lingkungan terutama ketika norma tersebut berlaku sebagai pedoman bagi kelangsungan hidup tempat mereka tinggal. Proses terakhir dalam melakukan evaluasi terakhir, didapat hampir 90% siswa dapat memaknai hakikat Norma dalam kehidupan bersama. Atas dasar hal tersebut penulis berasumsi wahana kegiatan Upacara Adat Seren Taun Kasepuhan Banten Kidul terutama di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang dapat dijadikan salah satu contoh “corong pencarian” informasi pemahaman tentang hakekat Norma Dalam Kehidupan Bersama terutama dalam Norma Adat Istiadat, dan diharapkan dapat menjadi salah satu sumber belajar demi terwujudnya Learning to know dan Learning to Live together.



V.        PENUTUP
Pemahaman dan pemaknaan Siswa terhadap Norma dalam Kehidupan bersama salah satunya akan terlihat melalui proses pembelajaran berbasis pendekatan lingkungan. Dengan pendekatan tersebut setidaknya siswa dapat memahami hakekat Norma kehidupan yang berlaku dilingkungan tempat mereka tinggal, untuk selanjutnya dapat diaktualisasikan di berbagai lingkungan seperti sekolah dan lingkungan keluarga. Upacara Adat Seren Taun di Kasepuhan Cisitu dan Kasepuhan Cisungsang sebagai salah satu Kasepuhan yang berada di lingkup Kasepuhan Adat Banten Kidul telah membuka mata kita bahwa sumber belajar sesungguhnya dapat ditemukan dilingkungan tempat kita tinggal, serta dapat dijadikan wahana pembelajaran dalam memberikan pemaknaan dan pemahaman kepada siswa tentang hakekat Norma Adat Istiadat yang merupakan bagian dari Norma Dalam Kehidupan bersama.
Akhirnya Dengan Kegiatan / Upacara Adat seren Taun di Kasepuhan Banten Kidul sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa, penulis berharap mudah-mudahan contoh pendekatan ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam menciptakan iklim pembelajaran kondusif yang mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang aktif, kreatif efektif dan bermakna, dengan menekankan pada belajar mengetahui (Learning to Know), Belajar berkarya (Learning to do), belajar menjadi diri sendiri (Learning to be), dan belajar hidup bersama secara harmonis (Learning live together). Semoga!

Pendidikan, Kebudayaan dan Adat Istiadat menghampar ibarat pasir namun bagaikan dua sisi mata uang, satu sisi bermanfaat tetapi disisi lain terhempas angin. (Kidung Karuhun)

DUNIA PENDIDIKAN: ANTARA PROFESIONALISME GURU, BIROKRASI DAN POLITISASI

DUNIA PENDIDIKAN: ANTARA PROFESIONALISME GURU, BIROKRASI DAN POLITISASI

Pucat, letih, muka sedikit kusut yang ditandai dengan kerutan dikening, serta senyum yang sedikit dipaksakan. Itulah kira-kira wajah yang dipasang olehku kawan, ketika menutup obrolan (kongkow) dan Brain storming dengan rekan-rekan seperjuangan di Basecamp tempat ku mengabdikan diri. Kali ini obrolan kami menyentuh ranah pandidikan, bidang yang selama ini kami geluti, dunia yang memang sudah menjadi jalan kami. Sekelumit cerita tentang manifestasi pendidikan yang di implementasikan oleh birokrasi dengan sedikit dibumbui politisasi. Pembicaraan yang menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam dengan berbagai berita, argumen, premis, fakta beserta hipotesis yang disampaikan olehku beserta para “Kompatriot”ku itulah sebagai penyebab wajahku sedikit berbeda hari itu kawan, jadi bukan karena belum gajian apalagi karena punya utang dan tagihan wajahku seperti itu, melainkan betapa panjang dan rumitnya benang kusut yang harus diurai pada kesempatan tersebut. Seperti biasa, Kongres (Ngawangkong Teu Beres-beres) itu akan ku sampaikan melalui sebuah tulisan berikut. Oya seperti biasa pula layaknya sebuah tulisan/artikel, kata “Aku” akan diganti dengan kata “Penulis”, bukan apa-apa sekedar untuk menambah gaya saja selain mungkin ceuk “kokolot” merupakan kode etik dalam membuat sebuah tulisan.

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berahlak mulia, serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, mempunyai sikap demokratis dan bertanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mungkin itulah sebaris kalimat dalam menggambarkan tujuan pendidikan di Indonesia sesuai dengan apa yang digariskan dan diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Sebaris kalimat yang memberi pesan sekaligus tanggung jawab bagi seluruh elemen bangsa ini untuk di laksanakan secara nyata. Sebaris kalimat yang membutuhkan aplikasi gerak motorik dari seluruh organ tubuh dan bukan hanya keluar dari ucapan disertai air liur yang muncrat.
Pendidikan.., memang satu kata yang tidak akan terlepas dari sendi-sendi kehidupan suatu bangsa termasuk di Indonesia, karena melalui keberhasilan pendidikan upaya dalam mewujudkan tujuan bangsa dengan sendirinya akan mudah tercapai, ibarat sebuah kendaraan, pendidikan adalah sebagai mesinnya, motor penggerak dalam mencapai suatu tujuan.

Salah satu elemen penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan diantaranya tidak terlepas dari peran Guru sebagai pengelola kompetensi proses belajar–mengajar (baik sebagai Demonstrator, Pengelola Kelas, Mediator dan Fasilitator serta Evaluator) bagi peserta didiknya, dan Selain itu diluar PBM guru pun terlanjur diberikan “gelar” sebagai subjek klasik yang wajib di gugu dan ditiru baik oleh peserta didik sebagai generasi penerus bangsa juga oleh masyarakat pada umumnya. Guru tidak hanya diperlukan oleh para murid di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberi nuansa kehidupan untuk menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik, seakan memberi pesan untuk ikut dan berpartisipasi sekaligus beradaptasi di dalamnya.
Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, maka akan semakin terjamin, tercipta dan terbinanya kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan ilustrasi tersebut timbul pertanyaan; sedemikian beratkah tugas, peran dan fungsi guru dalam dunia pendidikan? Sudah berbanding luruskah antara professionalisme yang di embannya dengan kesejahteraan yang menjadi haknya? Kesejahteraan yang bukan saja dalam segi materil tetapi meliputi kenyamanan guru dalam menjalankan tugasnya! Lalu Bagaimanakah posisinya dalam suatu birokrasi?

Disinilah penulis akan membatasi masalah Dunia pendidikan oleh suatu pernyataan Profesionalisme Guru dalam lingkaran birokrasi yang terindikasi oleh upaya-upaya politisasi, tentunya tulisan ini bukan merupakan tulisan ilmiah yang harus selalu bersandar pada kaidah-kaidah empirisme, melainkan lebih tepatnya suatu ungkapan yang mengangkat suatu isu dalam bentuk tulisan bebas, tentunya tetap berpijak pada etika, nilai serta fakta-fakta dilapangan. Kalaupun ditemukan ada indikasi ungkapan yang kurang komprehensif mohon dimaklumi dan di kritisi oleh kawan-kawan sebagai upaya bahwa kita punya perhatian dalam dunia pendidikan ini. Dan kepada pihak-pihak tertentu dan terkait  yang merasa “tersentuh” dalam tulisan ini penulis sampaikan permohonan maaf sebelumnya.

Kompetensi Profesionalisme Guru
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (WJS Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Adapun kompetensi guru adalah the ability of teacher to responsibility perform has or her duties oppropriately. Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi guru merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya, yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan seperti yang tercantum dalam kompetensi guru yang profesional.

Terdapat banyak sekali pendapat tentang kompetensi yang seharusnya dikuasai guru sebagai suatu jabatan profesional. Namun apabila kita runut pendapat beberapa ahli serta menarik benang merah dari Undang-Undang Guru dan Dosen, maka jika dipadukan dan disederhanakan, kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru dapat dikelompokkan menjadi 5 (penguasaan) :
  1. Penguasaan tentang wawasan pendidikan,
  2. Penguasaan bahan ajar,
  3. Penguasaan terhadap proses belajar mengajar,
  4. Penguasaan terhadap evaluasi belajar,
  5. Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai professional.
Nah, Setelah guru menjadi seorang professional, apakah dengan sendirinya “sistem” pun akan berjalan secara profesional? Apakah upaya dalam menciptakan guru profesional diikuti pula oleh sistem birokrasi yang proporsional? Bukan apa-apa, dalam mencetak guru profesional salah satu indikatornya adalah bagaimana sistem birokrasi berjalan dengan baik, mudah dan lancar, disamping indikator-indikator lain tentunya. Lalu bagaimana jadinya jika sistem Birokrasi dibumbui dengan upaya politisasi sebagai bentuk “jalan” kepentingan baik bagi penyelenggara negara di tingkat pusat maupun di daerah? Adakahkah pengaruh terhadap eksistensi Profesionalisme Guru dalam dunia pendidikan?
Mari kita telaah bersama.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, perlu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). (ini oleh-oleh penulis dari Prajab, kawan!)
Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.

Menoleh Politisasi Birokrasi masa lalu
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Segala sektor dalam birokrasi dapat dijadikan alat politik bagi penguasa. Tidak terkecuali juga bidang pendidikan.
Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.

Jika kita menilik Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi akan berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.

Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Ke empat ciri birokrasi tersebut menandai kekuasaan pemerintahan pada masa orde baru dalam menancapkan hegemoninya dalam mempertahankan stabilitas politik nasional.

Politisasi Birokrasi Era Reformasi
Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. Salah satu orang brilian yang dimiliki oleh bangsa kita BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999, yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan, mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada publik (Public Service) sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi masa lalu ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa yang dikuasai, menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat. Mungkin dalam hal ini kawan-kawan bisa menilai atau bahkan pernah juga merasakan bagaimana “pelayanan Publik” yang ada di negeri kita.
Hal lain yang menjadi ciri perubahan birokrasi pada era reformasi adalah dengan di  cetuskannya Otonomi Daerah sebagai implementasi dan harapan pembangunan bangsa melalui kemandirian daerah yang ditandai oleh penyelenggaraan pemerintahan yang berazaskan desentralisasi, dekonsantrasi beserta perimbangan keuangannya (antara pusat dan daerah). Fase otonomi daerah ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai legalitas formalnya.

Salah satu ekses dari UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa dampak langsung terhadap keberadaan aparatur pemerintah (Baca Pegawai Negeri Sipil) terutama aparatur pemerintahan Daerah yang mau tidak mau harus tunduk  terhadap suatu kebijakan daerah tempatnya bertugas. Karena berdasarkan kedudukannya, PNS terikat dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, selain itu pada tingkatan organisasi, hubungan antara organisasi dengan PNS sebagai pegawai dilingkungan organisasi yang bersangkutan juga diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Pemegang otoritas kelembagaan tersebut, disisi lain pemegang otoritas kelembagaan pun harus tunduk terhadap kebijakan pemegang otoritas daerah dalam hal ini Kepala Daerah sebagai “puncak dari hierarki” dalam pemerintahan daerah.
Wwuuuhhh, cukup rumit juga kawan, sekarang kita korelasikan dengan masalah kita ( baca guru).

Guru diantara  sistem birokrasi dan politisasi di era Reformasi
Otonomi daerah boleh saja dianggap sebagai langkah maju dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Sayangnya, langkah tersebut kurang ramah bagi dunia pendidikan. Bahkan, otonomi daerah menambah carut marut tata kelola pendidikan. Boleh dibilang, otonomi daerah hanya memindahkan masalah dari pusat ke daerah.
Sejenak penulis teringat apa yang disampaikan oleh Dosen penulis sekaligus Sekretaris Jendral  Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Prof. Dr. Aim Abdulkarim, M.Pd, dalam suatu kongres IKA UPI menegaskan, otonomi daerah memicu mismanagement alias salah urus pendidikan akibat kurang profesionalnya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pendidikan, politisasi dan birokratisasi lembaga pendidikan tampak jelas di daerah. Beliau mencontohkan posisi dan pengangkatan kepala sekolah atau posisi kepala dinas dari orang yang tidak memahami pendidikan. Mutasi kepala sekolah cenderung bergantung pada keinginan kepala daerah sehingga tidak lagi didasarkan pada pertimbangan profesionalisme.  Penulis berasumsi bahwa langkah politisasi tersebut dapat diibaratkan sebagai kambing dibedaki pun akhirnya akan terlihat cantik.

Nah, disamping itu penulis pun  menemukan berbagai praktek penyelewengan birokratisasi dilevel daerah, diantaranya
Pertama bagimana secara tidak langsung PNS daerah termasuk pegawai fungsional (Baca guru) di mobilisasi pada tataran politik praktis dalam mendukung segala kebijakan politik yang dikeluarkan oleh “sang pemegang otoritas tertinggi” (kepala daerah). Belum lagi jika saat-saat menjelang pesta Demokrasi (Pemilukada) berlangsung, Para aparatur/pegawai pun menjadi sasaran empuk sebagai ‘Mesin Politik Cadangan” sekaligus corong dalam meraup suara atau dukungan.  Jika terdapat ada “pegawainya” yang tidak tunduk dan patuh pada”aturan main” yang berlaku, alamat sanksi yang menunggu. Bahkan Istilah Mutasi dan Demosi ke daerah yang terpencil sudah menjadi “wadah”empuk bagi siapa saja aparatur struktural maupun fungsional yang membangkang. Hal ini menjadi suatu yang kontradiktif di saat semangat dan misi profesionalisme terutama professionalisme guru di dengungkan sesuai dengan apa yang telah diuraikan diatas, kalo boleh penulis bilang tindakan tersebut sebagai penghianatan terhadap UU Nomor 43 Tahun 1999.  Bagaimana tidak, seorang guru yang mempunyai kualifikasi akademik memadai, memiliki kompetensi yang tidak usah diragukan lagi, dipindah tugaskan ke daerah terpencil dan tidak memegang jabatan profesional serta mengajar tidak sesuai dengan kompetensi akademik yang dimilikinya hanya karena keputusan dan pendiriannya bertolak belakang dengan kehendak atau “aturan main” yang ditetapkan oleh pemegang “otoritas tertinggi” di daerah.  Jangankan untuk memenuhi kesejahteraan, ketenangan dalam menjalani tugas yang sesuai dengan profesi “ke profesionalannya” pun sudah dihambat, pada akhirnya Tupoksi (tugas Pokok dan Fungsi) yang seharusnya di emban menjadi tidak optimal, alhasil kinerja yang seharusnya dilakukan secara profesional akan terganggu akibat dari produk birokrasi yang tidak profesional.

Kedua, persoalan rekruitmen guru, dimana terindikasi dibeberapa daerah tidak dilakukan secara profesional yang hanya menggunakan cara-cara koneksitas dan kolusi. Banyaknya kasus yang mengemuka tentang pencaloan pegawai negeri sipil (PNS), termasuk pengangkatan guru, menunjukkan pemerintah daerah tidak serius melakukan seleksi calon guru untuk menghasilkan para pendidik profesional.

Ketiga, Masih ditemukannya praktek pungutan prosentasi untuk “lembaga” tempatnya bernaung (Baca Guru Professional), dalam pencairan berbagai aliran dana yang seharusnya menjadi hak guru Profesional seperti Sertifikasi, Tunjangan Fungsional, dan sebagainya dengan dalih “Partisipasi” sebagai tanda terimakasih kepada “lembaga” yang telah mengurus administrasinya. Cara-cara demikian masih menandai kultur  birokrasi pada saat ini dan bukan saja merugikan masa depan pendidikan secara umum, tetapi merugikan pembangunan pendidikan di daerah tersebut.
Potret inilah yang saat sekarang ini marak terjadi diberbagai daerah baik ditingkatan Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Hal ini menjadi suatu bukti bahwa sistem birokrasi di era reformasi ini masih sama saja bahkan tidak ada bedanya dengan masa kolonialisme dulu bahkan semasa zaman kerajaan, yang menurut James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi.
Perlu di ingat ada “idigium”yang tertanam saat ini di sebagian kalangan masyarakat bahwa Kepala daerah diibaratkan sebagai “Raja Kecil” dalam suatu wilayah administratif yang dikuasainya, sehingga segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, bisa diterjamahkan melalui sebuah kebijakan “prerogatif”, sepanjang kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan aturan dan perundang-undangan tersebut. Namun di sisi lain penterjemahaan kebijakan tersebut terkadang tidak Kongruen dengan misi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan diatasnya dan terkesan multi tafsir, sehingga disinilah celah-celah untuk upaya politisasi menjadi sangat terbuka .
Berdasarkan temuan-temuan serta uraian diatas, sepertinya saat ini penulis menilai profesionalisme guru belum fokus dilaksanakan dan belum bermuara pada kesejahteraan tenaga pendidik. Sejauh ini, profesionalisme masih dipahami setengah hati dan basa-basi, bahkan lebih bernuansa politis. Dengan kata lain, penyelenggaraan profesi guru belum menyentuh terciptanya profesionalisme di lapangan. Yang menyedihkan, kesejahteraan yang merupakan implikasi dari guru profesional banyak dihambat birokrasi pusat dan daerah.

Carut marutnya pendidikan nasional tercermin dari tidak adanya blueprint yang menjadi komitmen bersama antara lembaga Kepresidenan dengan Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Arah pendidikan Indonesia berjalan tanpa landasan falsafah yan jelas, sehingga menyebabkan kekacauan. Ini disebabkan karena terlalu kuatnya kehendak intervensi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pndidikan bergantung pada interest kelompok penguasa.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan, dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program serta produk hukum  ‘Secara Kaffah” yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para elite politik dengan tujuan memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan. Namun sebagai Insan kamil, sekaligus Zoon Politicon, tidak seharusnya kita menyerah kepada nasib dan selalu berpangku tangan terhadap keadaan,  Setidaknya sumbangsih pemikiran layak dan berhak kita ajukan.

Rekomendasi

Pertama Pemerintah diharapkan lebih konsentrasi dan konsisten dalam menata dan mengelola pendidikan, yang tentunya tetap mengacu pada UUD 1945 dalam mengelola pendidikan sehingga pendidikan dapat dinikmati dan diakses seluruh lapisan masyarakat Indonesia

Kedua, Perlunya kajian terhadap pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga adanya ketegasan tugas dan wewenang masing-masing. Kewenangan pemerintah Daerah (Provinsi,Kabupaten/kota) yang terlalu besar saat ini berimplikasi pada tidak terbangunnya tata kelola pendidikan dengan baik. Perlu adanya penegasan wilayah kewenangan yang sesuai dengan kapasitas pemerintah daerah yang akan menentukan tata kelola yang baik dalam penjaminan mutu pendidikan di Indonesia. Ini sekaligus untuk menjawab permasalahan pertama dan kedua pada uraian diatas.

Ketiga, Memberikan pelayanan birokrasi yang jelas dan terencana dalam penyaluran kesejahteraan guru, dengan tidak memperpanjang birokrasi yang memperlambat proses kerja profesionalitas pendidikan. Pemerintah juga harus menciptakan budaya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan pada setiap jenjangnya,” Ini untuk menjawab masalah yang ketiga dari uraian diatas.

Keempat Jika rekomendasi yang Kedua dan ketiga masih terdapat kendala dan tidak bisa dijalankan, kiranya layak diajukan untuk mengevaluasi kembali Desentralisai pendidikan, tidak haram dan dosa jika kita layangkan tuntutan untuk kembali ke Sentralisasi pendidikan, bukan apa-apa hal ini sebagai jalan terakhir menjawab semua permasalahan ini.

Penutup
Tugas, peran dan fungsi guru secara professional dalam dunia pendidikan yang seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan yang menjadi haknya, ternyata saat ini masih “terkebiri” oleh jalannya sistem politisasi birokrasi terutama di daerah, hal ini menjadikan Profesionalisme Guru di Dunia pendidikan terkesan hanya kamuplase belaka.  Upaya dalam menciptakan guru profesional tidak diikuti oleh sistem birokrasi yang proporsional sehingga pada akhirnya eksistensi peran profesionalisme guru yang diharapkan oleh “Konstituen” pendidikan dikalahkan oleh “Libido dan Hasrat Politik” pemegang otoritas dengan menggunakan kendaraan bernama “BIROKRATISASI”.

Kiranya inilah mungkin yang menyebabkan penulis memasang wajah seperti uraian diatas, seakan rumit dalam mengurai benak kusut birokrasi, sulit menemukan formula pemecahan masalah Dunia pendidikan secara Kohesif, dan bingung mendefinisikan Profesionalisme secara Koheren. Pucat dan letih, Seiring dengan pucatnya wajah pendidikan di negara kita ditengah-tengah lingkaran “Erotisme” Kepentingan yang mengundang hasrat Kekuasaan.

Penulis  adalah Guru disalah satu SMPN SATU ATAP di Banten Selatan.
Tinggal kadang di Bandung kadang di Banten