Senin, 23 Februari 2015

DILEMA KEBIJAKAN PENGHENTIAN KURIKULUM 2013 DITENGAH-TENGAH MENINGKATNYA PROSES PEMBELAJARARAN MELALUI KEGIATAN PENDAMPINGAN


DILEMA KEBIJAKAN PENGHENTIAN KURIKULUM 2013 DITENGAH-TENGAH MENINGKATNYA PROSES PEMBELAJARARAN MELALUI KEGIATAN PENDAMPINGAN KURIKULUM 2013
Oleh : Yudha Dana Prahara
I.                   PENDAHULUAN
Terbentuknya Kabinet Kerja dibawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo menjadi sebuah penawar baru ditengah-tengah  ekspektasi rakyat yang begitu tinggi akan adanya perubahan yang revolusioner diberbagai sendi-sendi kehidupan bangsa. Bagaimana tidak, Presiden Republik Indonesia yang ke-7 ini memberikan tugas kepada para pembantunya (Menteri) untuk melakukan suatu perubahan yang bukan saja membuat program pro Rakyat, tapi lebih kepada penekanan terhadap perombakan struktur dan program kerja baru yang berbeda dari program kerja pemerintahan sebelumya dengan prinsip pengukuran kinerja yang lebih efektif dan efesien.

Kebijakan tersebut membawa pada suatu paradigma baru tentang perubahan kultur yang ditujukan pada setiap kementrian secara progresif, yang mau tidak mau, suka tidak suka harus disesuaikan dengan visi yang diusung oleh Kabinet kerja ala pemerintahan Jokowi. Hal ini jika diterjemahkan secara sederhana berarti setiap kementrian harus memiliki program kebijakan yang berbeda dari program kebijakan kebinet pemerintahan sebelumnya (Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2) yang tentunya berdasarkan pada hasil kajian dan evaluasi capaian program sebelumya.

Setiap kementrian dituntut untuk memenuhi harapan rakyat dengan menciptakan pembaharuan yang nyata, artinya program yang disusun dan dibuat oleh para menteri harus bersifat progresif dan produktif. Setiap kementrian diharapkan dapat membangun struktur kelembagaan secara profesional sehingga bermuara pada ketepatan dan keakuratan dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya, hal ini berlaku untuk seluruh kementrian.

Arahan kebijakan yang diberlakukan pada setiap kementrian demi sebuah perubahan dan perbaikan memanglah mutlak diperlukan sepanjang perubahan itu memang positif yang dilandasi oleh hasil kajian dan evaluasi secara mendalam. Perubahan kebijakan diperlukan jika kebijakan pemerintahan sebelumnya ditenggarai kurang memberikan kontribusi yang produktif bagi kemajuan dan kepentingan bangsa. Namun akan sangat disayangkan jika arahan kebijakan tersebut diterjemahkan secara masif tapi tidak mempertimbangkan hasil kajian, evaluasi dan tolok ukur keberhasilan dari kebijakan pemeritahan sebelumnya, artinya naif rasanya ketika seluruh kementrian dipukul rata untuk merubah seluruh tatanan program kebijakan tanpa mempertimbangkan nilai “kemudharatan dan kemashlahatan nya”, karena belum tentu program kebijakan terdahulu tidak sesuai seluruhnya dengan semangat perubahan ala pemerintahan Jokowi, dan bukan tidak mungkin program kebijakan terdahulupun terdapat kesesuaian dengan visi yang diusung oleh pemerintahan sekarang, hal tersebut bisa saja terjadi sepanjang ada komunikasi dengan pemerintahan sebelumnya. Akan tetapi dinamika yang berkembang saat ini sepertinya tidak mengarah kesana (harmonisasi jalinan komunikasi yang kuat), ada komunikasi yang terputus antara pemerintahan terdahulu dengan pemerintahan sekarang melihat masih terdapat kontroversi mengenai program kebijakan pemerintahan terdahulu yang dianggap baik dalam pelaksanaannya namun dengan mudah dihentikan dan di ubah struktur dan pelaksanaannya oleh pemerintahan sekarang, sehingga memunculkan reaksi yang beragam dari publik, ada yang setuju dengan kebijakan pemerintahan sekarang tapi tidak sedikit pula yang menyayangkan atas kebijakan tersebut, bahkan ada beberapa pernyataan dari publik bahwa “pemerintahan sekarang seakan dengan mudah menyalahkan kebijakan pemerintahan terdahulu”.

II.       Inkonsistensi Kebijakan Kurikulum

Apapun anggapan publik tentang kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan sekarang, Presiden tetap mempunyai hak prerogatifnya dalam menjalankan kekuasaan eksekutifnya, sehingga mau tidak mau apa yang menjadi Pogram kerja untuk dijadikan kebijakan harus tetap di dijalankan oleh seluruh kementrian, tak terkecuali Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan yang saat sekarang tengah menjadi isu terhangat di negeri ini terkait dengan penghentian Kurikulum 2013. Bagaimana tidak, Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan pernah mengungkapkan bahwasanya selama menjabat, ia tidak ingin ada anggapan ketika Ganti Menteri tentunya harus ganti Kurikulum, namun nyatanya Kurikulum 2013 yang baru digagas dan diimplementasikan kurang lebih selama 1,5 tahun dihentikan sementara bagi sekolah-sekolah atau satuan pendidkan tertentu, kebijakan ini tentunya menuai pro dan kontra terutama bagi mereka yang bergelut di bidang pendidikan.

Mengenai pro kontra pelaksanaan kurikulum 2013 yang saat sekarang ini dihentikan sementara bagi sekolah atau satuan pendidikan yang baru menjalankan kurikulum selama satu semester, dan dilanjutkan bagi Satuan Pendidikan yang sudah menjalankan Kurikulum 2013 selama tiga semester tentunya menuai reaksi yang cukup beragam pula, ada yang sangat mengapresiasi dan “senang” atas penghentian kurikulum 2013 tersebut, tidak sedikit pula yang bereaksi keras menolak penghentian kurikulum 2013 ini. Salah satunya adalah Rektor Universitas Wisnuwardhana Malang Prof. Dr. Suko Wiyono. Beliau menilai kebijakan pencabutan kurikulum 2013 oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan merupakan diskriminasi dalam dunia pendidikan, Pasalnya, kebijakan itu tidak diterapkan kepada seluruh sekolah.
Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa ketidakmerataan pemberlakuan kurikulum tersebut memicu diskriminasi dalam dunia pendidikan karena ada sekolah yang dipaksa kembali memberlakukan kurikulum 2006 (KTSP) dan ada sebagian sekolah yang dengan leluasa menerapkan kurikulum 2013. Padahal,sejak diberlakukannya kurikulum 2013 tersebut, hampir seluruh sekolah berupaya untuk menerapkannya dengan cara berusaha memberikan pelatihan guru secara bertahap dan memenuhi kebutuhan buku-bukunya sebagai panduan dalam proses belajar mengajar. Selain ada upaya diskriminasi, juga ada upaya pembedaan kualitas pendidikan di Tanah Air yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan yang tidak merata. Sebab, ada sebagian sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 dan ada sekolah yang kembali menerapkan kurikum 2006 (KTSP). Kondisi tersebut, merupakan bentuk pendidikan yang mulai mengarah pada liberalisasi. Padahal, untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak perlu merombak total atau mencabut kurikulum yang baru diberlakukan 1,5 tahun terakhir ini. (Sumber : Kompas.com. Rabu, 17 Desember 2014)
Pendapat Suko Wiyono ini boleh jadi merupakan representasi dari pendapat publik yang menolak kebijakan penghentian kurikulum 2013 ini, termasuk penulis yang saat ini (mohon maaf) kurang setuju dengan penghentian kurikulum bagi sebagian besar sekolah di negara ini, walaupun kesannya tendensius bukan berarti penulis bersikap apriori, semata karena mutlak pandangan dan pendapat penulis sendiri dalam membaca dinamika yang berkembang dalam konteks negara demokrasi tentunya. Adalah hal yang sangat wajar ketika terjadi sikap pro dan kontra dalam menyikapi penghentian kurikulum 2013 ini, karena seperti diketahui kurikulum merupakan landasan atau pijakan bagi pelaksanaan sistem pembelajaran dalam dunia pendidikan di negeri ini, namun sikap pro dan kontra ini tentunya harus di sikapi pula oleh sikap yang wajar dan berimbang agar terhindar dari gejolak yang berpotensi membuat terganggunya tatanan sosial di dunia pendidikan. Terlepas dari pro dan kontra ini, ada beberapa alasan yang membuat penulis kurang setuju dengan kebijakan penghentian kurikulum 2013 diantaranya :
Pertama, Penulis sependapat dengan Prof. Dr. Suko Wiyono bahwasanya penghentian Kurikulum 2013 akan memicu diskriminasi di dunia pendidikan khususnya di Sekolah atau satuan pendidikan, karena perbedaan kurikulum yang di jalankan. Hal ini bukan saja menyangkut perbedaan kualitas di tiap satuan pendidikan, namun lebih kepada perbedaan output penilaian pada siswa atau peserta didik. Sebagai contoh sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 akan memiliki raport yg lebih konsisten dengan 3 penilaian (Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan), sebaliknya sekolah yang kembali ke KTSP (kurikulum 2006) tentunya kembali ke raport semula yang hanya menilai aspek pengetahuan saja, padahal sebelumnya peserta didik sudah menerima Raport dengan 3 aspek penilaian. Selain itu salah satu alasan Mendikbud Anis Baswedan yang tetap menerapkan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang sudah menerapkan selama 3 semester karena dianggap Sumber Daya Manusia nya sudah siap dan mumpuni, hal ini dikhawatirkan menambah indikator diskriminasi selanjutnya, karena tolok ukur kesiapan SDM (Guru dan tenaga kependidikan) tidak bisa hanya diukur pada tempat atau sekolah yang dijadikan percontohan, bahkan belum tentu pula sekolah yang bukan percontohan (sekolah yang kembali menerapkan KTSP)  tidak memiliki SDM yang siap dan mumpuni dalam melaksanakan Kurikulum 2013 ini.
Kedua,Anggaran yang telah dikeluarkan untuk implementasi kurikulum 2013 bukanlah angka yang sedikit, cakupan anggaran tersebut dikeluarkan antara lain untuk pengadaan buku kurikulum 2013, program pelatihan SDM (Pengawas, Kepsek, guru dan stake holder lainnya), pengadaan alat peraga dan lain sebagainya secara nasional, anggaran yang mencapai triliunan rupiah itu akan terasa sangat “mubazir” ditengah-tengah program pemerintah sekarang ini yang katanya mengutamakan efesiensi dalam pengeluaran APBN.
Ketiga, Rasionalisasi dan landasan penghentian kurikulum 2013 bagi sebagian besar sekolah dirasa sangat lemah, bahkan menimbulkan pertanyaan menggelitik, diantaranya seperti : apakah cukup hanya dengan hasil temuan dan keluhan dari segelintir pihak saja yang merasa “tidak mampu” dan keberatan dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini sehingga harus dihentikan?, apakah hasil pertimbangan dan masukan tim evaluasi kurikulum selama ini valid sehingga dijadikan acuan dalam penghentian kurikulum? berlandaskan data dan fakta darimana sehingga tim evaluasi ini dengan mudah mengusulkan penghentian kurikulum 2013? Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak dikemukakan disaat program pendampingan kurikulum yang dilaksanakan secara bertahap diseluruh wilayah di negeri ini pun belum diterima data dan laporannya secara menyeluruh oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah selaku operator implementasi kurikulum 2013. Hal tersebut mungkin bagi Mendikbud dianggap tidak bisa dijadikan representasi, namun perlu diingat bahwa laporan para pendamping kurikulum diseluruh Indonesia adalah data primer yang sangat valid jika ingin dipakai sebagai tolok ukur dan gambaran implementasi kurikulum 2013 selama ini, karena bagaimanapun tim pendamping sebagai pengembang kurikulum di tingkat paling bawah merupakan ujung tombak dalam mensosialisasikan implementasi kurikulum 2013, oleh karena itu walaupun tugas utama pendamping kurikulum adalah sebagai tim sosialisasi namun disisi lain mereka juga mempunyai gambaran dan data sesungguhnya bagaimana proses dan penerapan implementasi kurikulum 2013 dilapangan (tingkat satuan pendidikan / sekolah) termasuk dapat menggambarkan bagaimana kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya.
Keempat, didalam kurikulum 2013 terdapat istilah matrikulasi atau Bridging Cource, yaitu program untuk meningkatkan kemampuan awal (Penyamaan bekal awal) peserta didik diberbagai tingkatan, terutama di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, Matrikulasi ini secara teknis berupa penyesuaian materi yang terdapat pada setiap mata pelajaran yang harus disesuaikan dengan struktur kurikulum 2013 dimana didalamnya terdapat tujuan dalam menyamakan dan melengkapi kemampuan awal siswa yang mencakup Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan dengan prinsip pembelajaran Saintifik dan penilaian secara Otentik. Oleh karena itu sudah barang tentu terdapat perubahan materi (pokok bahasan) dari KTSP ke Kurikulum 2013, sebagai contoh salah satu materi atau Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran PPKn Tentang “Kedaulatan Rakyat” kelas 8 SMP/MTs yang sebelumnya ada di KTSP di semester 2, ternyata dalam kurikulum 2013 ada di kelas 8 semester 1, sehingga peserta didik mau tidak mau harus dibekali dan disesuaikan terlebih dahulu, karena hal tersebut akan bermuara pada evaluasi atau penilaian secara bertahap dan berjenjang. Dengan adanya kebijakan kembali lagi ke KTSP bagi sebagian besar sekolah / satuan pendidikan tentunya materi-materi tersebut akan kembali seperti semula, yang menjadi lucu adalah hasil evaluasi (Raport) di semester 1 kelas 8 mata pelajaran PPKn Kurikulum 2013  penilaian KD tentang “Kedaulatan rakyat” sudah tercantum dalam deskripsi di raport, sehingga materi / KD tentang Kedaulatan rakyat sudah diberikan di semester 1, hal ini berpotensi memunculkan kebingungan, bagaimana tidak ketika mau disesuaikan kembali ternyata sulit, karena di semester 2 KTSP materi yang dibahas tinggal 2 KD, sementara di Program Semester (Promes) tercantum ada 3 KD, selain itu dalam Raport semseter 1 kelas 7 dan 8 sudah terdapat Deskripsi Hasil belajar yang menjabarkan Tiap-tiap KD semester 1 yang telah dicapai oleh peserta Didik. Kasus ini baru muncul di 1 (satu) mata pelajaran, belum lagi  pada mata pelajaran lain yang kemungkinan memunculkan potensi yang sama. Hal-hal teknis seperti inilah yang menurut penulis luput dari perhatian “para pengambil kebijakan”, sehingga mempertegas sikap ketidak setujuan penulis terhadap kebijakan ini.
III.   Data Pendukung dalam implementasi Kurikulum 2013
Hal-hal yang menyangkut tentang banyaknya kelemahan dalam implementasi kurikulum 2013 yang dijadikan dasar kuat oleh tim evaluasi kurikulum 2013 hingga berujung keputusan Mendikbud untuk menghentikan sementara Kurikulum 2013 bagi sebagian besar sekolah memang cukup beralasan namun agaknya kurang mendasar, karena sekali lagi penulis belum menemukan data primer dan meyakinkan mengenai alasan mengapa Kurikulum 2013 ini harus dihentikan. Malah sebaliknya penulis mempunyai data tersendiri bahwa kurikulum 2013 layak untuk dipertahankan dan bahkan dilanjutkan untuk seluruh satuan pendidikan. Data tersebut penulis peroleh ketika melaksanakan tugas pendampingan untuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) SMP di Wilayah Bina 7 Kabupaten Lebak provinsi Banten. Pelaksanaan Pendampingan sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk melaksanakan penilaian (monitoring) kepada guru sasaran, namun merupakan proses pemberian bantuan penguatan pelaksanaan kurikulum 2013 pada satuan pendidikan yang dilandasi oleh prinsip profesional, kolegial, sikap saling percaya dan berkelanjutan (pasal 1 dan pasal 3 Permendikbud No.105 thn.2014), akan tetapi instrumen yang digunakan dalam pelaksanaan pendampingan tersebut memuat kolom indikator ketercapaian 3 kompetensi (Perencanaan, Pelaksanaan dan penilaian) yang harus di isi secara kuantitatif oleh setiap pembimbing, sehingga dalam hal ini penulis tertarik untuk sekalian saja mengumpulkan dan  menginventarisir data yang berhasil di susun dalam rangkaian kegiatan pelaksanaan pendampingan kurikulum 2013. Walaupun populasi dan sampel yang digunakan secara kaidah ilmiah kurang memenuhi standar untuk dijadikan tolok ukur secara holistik, tapi setidaknya sebagian kecil data ini diharapkan bisa memberikan gambaran bagaimana Kurikulum 2013 ini dapat dilanjutkan.
Guna memperkuat alasan-alasan tersebut, berikut penulis sampaikan data-data secara deskriptif. Dari 35 Sekolah Menengah Pertama di wilayah bina 7 Kabupaten Lebak Provinsi Banten terdapat populasi Guru Sasaran sebanyak 350 orang dari 10 Mata Pelajaran berbeda. Dari jumlah tersebut penulis ambil sampel 35 orang guru yang mengampu Mata Pelajaran PPKn, karena ke 35 guru tersebut merupakan guru sasaran yang langsung dibawah arahan penulis dalam rangka melaksanakan tugas pendampingan kurikulum 2013. Adapun instrumen pendampingan yang digunakan meliputi 3 aspek yaitu : Perencanaan, Pelaksanaan dan Penilaian. Observasi serta perlakuan tindakan pendampingan dilakukan oleh penulis pada 3 (tiga) kegiatan yaitu Pertama Kegiatan IN Service 1 yang diadakan di sekolah Induk kluster (Sekolah Induk yang membawahi 5 Sekolah sasaran), Kedua Kegiatan ON Service (bertempat di sekolah masing-masing)  dan Ketiga Kegiatan IN Service 2 (bertempat di sekolah Induk Klaster). ke tiga aspek yang dijadikan objek penilaian meliputi beberapa indikator daiantaranya :
1.        Perencanaan yang meliputi : kemahiran guru dalam menyusun dan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 diantaranaya : Pengisian Identitas, Kompetensu Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian Kompetensi, materi Pembelajaran, pelaksanaan Pembelajaran dan perumusan teknik alat penilaian.
2.        Pelaksanaan  yang meliputi : penguasaan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dari mulai kegiatan Pendahuluan, Kegiatan inti dan Kegiatan Penutup. Dalam proses ini guru di tuntut untuk menerapkan kegiatan pembelajaran melalui pendekatan Saintifik yang bersumber pada siswa, memanfaatkan strategi belajar yang mendidik dengan  menerapkan kegiatan 5 M (Mengamati, Menanya, Mencari Informasi, Mengasosiasi dan Mengkomunikasikan) serta memanfaatkan sumber dan media belajar yang efektif.
3.        Penilaian yang meliputi : kemampuan guru dalam melaksanakan penilaian otentik diantaranya penilaian Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan. Kompetensi yang diharapkan dalam melaksanakan evaluasi atau penilaian ini adalah bagaimana Guru dapat menyusun alat, Bentuk, teknik dan instrumen yang cocok dalam melaksanakan penilaian baik terhadap peserta didik maupun antar peserta didik (penilaian antar teman).
Adapun langkah teknis dalam pengumpulan data, penulis ambil pada dua kegiatan, yaitu data pertama diambil pada kegiatan IN service 1 yang dilaksanakan di sekolah Induk klaster, sedangkan data kedua diambil pada kegiatan On Service di Sekolah Masing-masing. Pada kegiatan pertama In Service 1, Guru Dikumpulkan  di sekolah Induk Kluster untuk bersama-sama melaksanakan pendampingan. Pada kegiatan tersebut Guru-guru sasaran diminta untuk menyerahkan administrasi pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Dokumen Penilaian (Evaluasi). Kegiatan dilanjutkan dengan peer teaching secara berkelompok. Hasil pada kegiatan pertama ini terhimpun permasalahan yang cenderung sama terkait kesulitan guru dalam Perencanaan dan penilaian, yang meliputi : Penyusunan indikator Pencapaian Kompetensi, penyusunan instrumen  dan membuat rubrik penilaian. Kesulitan-kesulitan ini ditindaklanjuti dalam kegiatan ON Service di sekolah masing-masing dengan diberikan layanan khusus berupa pengarahan implementasi Kurikulum 2013 sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk Teknis pada Buku I sampai Buku 3 implementasi Kurikulum 2013.
Berdasarkan hasil kegiatan ON Service yang di evaluasi di IN 2, terdapat Perubahan yang cukup signifikan dalam pengimplementasian kurikulum 2013 ini. Berikut hasil prosentase hasil kegiatan ON Service :
NO
ASPEK PENILAIAN (PROSENTASE PENCAPAIAN)
SEBELUM ON SERVICE
SETELAH ON SERVICE
PERENCANAAN
PELAKSANAAN
PENILAIAN
PERENCANAAN
PENINGKATAN
PELAKSANAAN
PENINGKATAN
PENILAIAN
PENINGKATAN
1
76,95 %
60,94 %
40,63%
84,77%
7,81%
78,91%
17,97%
54,69%
14,06%
Dari tabel tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.    Perencanaan
a.       Perencanaan Sebelum Kegiatan On Service:
Dari 35 Guru Sasaran Mata Pelajaran PPKn yang ada di Wilayah Bina 7 Kab. Lebak, kemampuan guru dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan Permendikbud No.103 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran pada Kurikulum 2013 sudah cukup baik, hal ini terlihat malah sebelum kegiatan ON Service dilaksanakan. Guru rata-rata dapat membuat Perencanaan dengan capaian sebesar 76,95 % dari seluruh aspek Perencanaan yang harus di capai
b.      Perencanaan Setelah On Service :
Setelah kegiatan ON Service dilaksanakan, guru semakin terampil dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Guru rata-rata dapat membuat Perencanaan dengan capaian sebesar 84,77 % dari seluruh aspek Perencanaan yang harus di capai atau meningkat 7,82 % dari capaian sebelumnya.
2.    Proses PBM / Pelaksanaan
a.       Pelaksanaan / Proses PBM di kelas sebelum On Service
Dari 35 Guru Sasaran Mata Pelajaran PPKn yang ada di Wilayah Bina 7 Kab. Lebak, kemampuan guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran yang sesuai dengan Permendikbud No.103 tentang  Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran pada Kurikulum 2013 sudah cukup baik, hal ini terlihat juga sebelum kegiatan ON Service dilaksanakan. Guru rata-rata dapat melaksanakan pembelajaran sesuai dengan prinsip 5 M / Saintifik  dengan capaian sebesar 60,94 % dari seluruh aspek Pelaksanaan pembelajaran yang harus di capai.
b.      Pelaksanaan / Proses PBM di kelas setelah ON Service
Setelah kegiatan ON Service dilaksanakan, guru semakin terampil dalam melaksanakan pembelajaran sesuai dengan prinsip 5 M / Saintifik. Guru rata-rata dapat melaksanakan pembelajaran dengan capaian sebesar 78,91 % dari seluruh aspek Pelaksanaan pembelajaran yang harus di capai. Dari data tersebut membuktikan ada peningkatan sebesar 17,97 % dari capaian sebelumnya.
3.    Penilaian
  1. Pelaksanaan Penilaian Sebelum On Service
Dari 35 Guru Sasaran Mata Pelajaran PPKn yang ada di Wilayah Bina 7 Kab. Lebak, kemampuan guru dalam melaksankan Penilaian yang sesuai dengan Permendikbud No.104 tentang Penilaian Hasil Belajar pada Kurikulum 2013 memang masih mengalami kesulitan, hal ini terlihat sebelum kegiatan ON Service dilaksanakan. Guru rata-rata dapat melaksanakan penilaian dengan capaian sebesar 40, 63 % dari seluruh aspek Penilaian yang harus di capai.
  1. Pelaksanaan Penilaian Setelah On Service
Setelah kegiatan ON Service dilaksanakan, ada peningkatan yang cukup signifikan, Guru rata-rata dapat melaksanakan penilaian dengan capaian sebesar 54,69 % dari seluruh aspek Perencanaan yang harus di capai atau meningkat 14,06 % dari capaian sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa meskipun guru mengalami kesulitan dalam merancang dan melaksanakan penilaian, namun seiring dengan pembiasaan dan ketekunan, maka aspek penilaian kurikulum 2013 bukan tidak mungkin dapat terlaksana secara utuh.
Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan yang dialami oleh Guru-guru sasaran dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 setelah ikut dalam proses pendampingan diantaranya :
1.        Kemampuan guru dalam menyusun dan membuat Perencanaan Pembelajaran (RPP) meningkat sebesar 7,81%
2.        Kemampuan guru dalam melaksanakan Proses Pembelajaran (PBM) meningkat sebesar 17, 97%
3.        Kemampuan guru dalam melaksanakan Penilaian otentik dalam Pembelajaran  meningkat sebesar 14,06 %
Data tersebut sekali lagi walau hanya memiliki populasi dan sampel yang kecil namun setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa Kurikulum 2013 sebetulnya sangat layak untuk dipertahankan dan dilanjutkan secara menyeluruh dalam pelaksanaannya. Sangat sulit rasanya bagi penulis untuk menerima kebijakan penghentian kurikulum 2013 ini untuk sebagian besar satuan pendidikan (sekolah) yang baru menjalankan kurikulum 2013 selama satu semester, karena justru data sekolah yang penulis ambil sampelnya merupakan sekolah-sekolah yang baru melaksanakan kurikulum 2013 selama satu semester dan sekolah-sekolah tersebut secara geografis cenderung terletak di daerah yang jauh dari perkotaan (andai kata tidak mau disebut pedalaman).
IV.        Penutup
Berdasarkan hal tersebut kiranya tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih  saran bagi pemerintah pada umumnya dan Kemendikbud pada khususnya bahwa suatu kebijakan akan sangat “berdasar” dan dapat dipertanggungjawabkan dihadapan publik jika dalam pengambilan keputusannya berlandaskan pada hasil kajian data dan fakta sahih dilapangan secara holistik dengan mempertimbangkan hasil evaluasi secara komprehensif, bukan hanya sekedar pengamatan terhadap gejala-gejala umum, laporan dan rekomendasi tim evaluasi saja apalagi berdasarkan atas keluhan dari segelintir pihak yang kontras akan kebijakan sebelumnya. Jika “Kegalauan” Menteri Pendidikan  tentang “ dilema kurikulum 2013” antara dihentikan atau dilanjutkan dan kedua-duanya memiliki resiko layaknya “buah simalakama” seperti yang dinyatakan dalam berbagai Media massa pada saat itu, maka tidakkah berpikir sesungguhnya masih ada jalan tengah yang bisa ditempuh semisal pemerintah (Kementrian Pendidikan) hanya melakukan evaluasi dan penyempurnaan saja, sambil berjalan kurikulum 2013 tersebut dievaluasi dan dikaji, dimana kekurangannya dan dimana kelebihannya, adapun kekurangan itulah yang disempurnakan. Bukankah langkah-langkah evaluasi kurikulum sudah termaktub dengan sangat jelas dalam Permendikbud No.159 tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum? Apalagi dalam pasal 2 ayat (4) tertera sangat jelas bahwasanya tujuan dari evaluasi kurikulum adalah untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian antara ide kurikulum dan desain kurikulum,  antara desain kurikulum dan dokumen kurikulum, antara dokumen kurikulum dan implementasi kurikulum, serta antara ide kurikulum, hasil kurikulum, dan dampak kurikulum. Informasi-informasi tersebut hanya bisa didapatkan melalui suatu proses berjenjang melalui pendekatan, model dan strategi evaluasi kurikulum yang efektif yang dilakukan secara deduktif atau induktif dengan langkah-langkah sistematik dan sistemik untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat dan valid. Akan tetapi pada akhirnya ternyata kerangka dasar evaluasi kurikulum yang telah disusun secara baik dan “apik” ini tinggalah “puing-puing produk hukum mati” seiring dengan terbitnya “produk hukum pengganti” yang dianggap oleh beberapa kalangan sarat akan kontroversi.

Penulis adalah Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMPN Satap 7 Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten
Daftar Pustaka
-            ________________, 2014 Pencabutan Kurikulum 2013 dinilai diskriminasi,Malang :                   Kompas.com Rabu, 17 Desember 2014.
-            Kemendikbud, 2014 Instrumen Pendampingan Pelaksanaan Kurikulum 2013 untuk    SMP tahun 2014, Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan SMP
-            Kemendikbud, 2014 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.159 tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum, Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
-            Kemendikbud, 2014 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.159 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pembelajaran pada Kurikulum 2013, Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan