Jumat, 19 Desember 2014

DUNIA PENDIDIKAN: ANTARA PROFESIONALISME GURU, BIROKRASI DAN POLITISASI

DUNIA PENDIDIKAN: ANTARA PROFESIONALISME GURU, BIROKRASI DAN POLITISASI

Pucat, letih, muka sedikit kusut yang ditandai dengan kerutan dikening, serta senyum yang sedikit dipaksakan. Itulah kira-kira wajah yang dipasang olehku kawan, ketika menutup obrolan (kongkow) dan Brain storming dengan rekan-rekan seperjuangan di Basecamp tempat ku mengabdikan diri. Kali ini obrolan kami menyentuh ranah pandidikan, bidang yang selama ini kami geluti, dunia yang memang sudah menjadi jalan kami. Sekelumit cerita tentang manifestasi pendidikan yang di implementasikan oleh birokrasi dengan sedikit dibumbui politisasi. Pembicaraan yang menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam dengan berbagai berita, argumen, premis, fakta beserta hipotesis yang disampaikan olehku beserta para “Kompatriot”ku itulah sebagai penyebab wajahku sedikit berbeda hari itu kawan, jadi bukan karena belum gajian apalagi karena punya utang dan tagihan wajahku seperti itu, melainkan betapa panjang dan rumitnya benang kusut yang harus diurai pada kesempatan tersebut. Seperti biasa, Kongres (Ngawangkong Teu Beres-beres) itu akan ku sampaikan melalui sebuah tulisan berikut. Oya seperti biasa pula layaknya sebuah tulisan/artikel, kata “Aku” akan diganti dengan kata “Penulis”, bukan apa-apa sekedar untuk menambah gaya saja selain mungkin ceuk “kokolot” merupakan kode etik dalam membuat sebuah tulisan.

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berahlak mulia, serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, mempunyai sikap demokratis dan bertanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mungkin itulah sebaris kalimat dalam menggambarkan tujuan pendidikan di Indonesia sesuai dengan apa yang digariskan dan diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Sebaris kalimat yang memberi pesan sekaligus tanggung jawab bagi seluruh elemen bangsa ini untuk di laksanakan secara nyata. Sebaris kalimat yang membutuhkan aplikasi gerak motorik dari seluruh organ tubuh dan bukan hanya keluar dari ucapan disertai air liur yang muncrat.
Pendidikan.., memang satu kata yang tidak akan terlepas dari sendi-sendi kehidupan suatu bangsa termasuk di Indonesia, karena melalui keberhasilan pendidikan upaya dalam mewujudkan tujuan bangsa dengan sendirinya akan mudah tercapai, ibarat sebuah kendaraan, pendidikan adalah sebagai mesinnya, motor penggerak dalam mencapai suatu tujuan.

Salah satu elemen penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan diantaranya tidak terlepas dari peran Guru sebagai pengelola kompetensi proses belajar–mengajar (baik sebagai Demonstrator, Pengelola Kelas, Mediator dan Fasilitator serta Evaluator) bagi peserta didiknya, dan Selain itu diluar PBM guru pun terlanjur diberikan “gelar” sebagai subjek klasik yang wajib di gugu dan ditiru baik oleh peserta didik sebagai generasi penerus bangsa juga oleh masyarakat pada umumnya. Guru tidak hanya diperlukan oleh para murid di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberi nuansa kehidupan untuk menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik, seakan memberi pesan untuk ikut dan berpartisipasi sekaligus beradaptasi di dalamnya.
Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, maka akan semakin terjamin, tercipta dan terbinanya kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan ilustrasi tersebut timbul pertanyaan; sedemikian beratkah tugas, peran dan fungsi guru dalam dunia pendidikan? Sudah berbanding luruskah antara professionalisme yang di embannya dengan kesejahteraan yang menjadi haknya? Kesejahteraan yang bukan saja dalam segi materil tetapi meliputi kenyamanan guru dalam menjalankan tugasnya! Lalu Bagaimanakah posisinya dalam suatu birokrasi?

Disinilah penulis akan membatasi masalah Dunia pendidikan oleh suatu pernyataan Profesionalisme Guru dalam lingkaran birokrasi yang terindikasi oleh upaya-upaya politisasi, tentunya tulisan ini bukan merupakan tulisan ilmiah yang harus selalu bersandar pada kaidah-kaidah empirisme, melainkan lebih tepatnya suatu ungkapan yang mengangkat suatu isu dalam bentuk tulisan bebas, tentunya tetap berpijak pada etika, nilai serta fakta-fakta dilapangan. Kalaupun ditemukan ada indikasi ungkapan yang kurang komprehensif mohon dimaklumi dan di kritisi oleh kawan-kawan sebagai upaya bahwa kita punya perhatian dalam dunia pendidikan ini. Dan kepada pihak-pihak tertentu dan terkait  yang merasa “tersentuh” dalam tulisan ini penulis sampaikan permohonan maaf sebelumnya.

Kompetensi Profesionalisme Guru
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (WJS Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Adapun kompetensi guru adalah the ability of teacher to responsibility perform has or her duties oppropriately. Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi guru merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya, yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan seperti yang tercantum dalam kompetensi guru yang profesional.

Terdapat banyak sekali pendapat tentang kompetensi yang seharusnya dikuasai guru sebagai suatu jabatan profesional. Namun apabila kita runut pendapat beberapa ahli serta menarik benang merah dari Undang-Undang Guru dan Dosen, maka jika dipadukan dan disederhanakan, kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru dapat dikelompokkan menjadi 5 (penguasaan) :
  1. Penguasaan tentang wawasan pendidikan,
  2. Penguasaan bahan ajar,
  3. Penguasaan terhadap proses belajar mengajar,
  4. Penguasaan terhadap evaluasi belajar,
  5. Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai professional.
Nah, Setelah guru menjadi seorang professional, apakah dengan sendirinya “sistem” pun akan berjalan secara profesional? Apakah upaya dalam menciptakan guru profesional diikuti pula oleh sistem birokrasi yang proporsional? Bukan apa-apa, dalam mencetak guru profesional salah satu indikatornya adalah bagaimana sistem birokrasi berjalan dengan baik, mudah dan lancar, disamping indikator-indikator lain tentunya. Lalu bagaimana jadinya jika sistem Birokrasi dibumbui dengan upaya politisasi sebagai bentuk “jalan” kepentingan baik bagi penyelenggara negara di tingkat pusat maupun di daerah? Adakahkah pengaruh terhadap eksistensi Profesionalisme Guru dalam dunia pendidikan?
Mari kita telaah bersama.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, perlu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). (ini oleh-oleh penulis dari Prajab, kawan!)
Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.

Menoleh Politisasi Birokrasi masa lalu
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Segala sektor dalam birokrasi dapat dijadikan alat politik bagi penguasa. Tidak terkecuali juga bidang pendidikan.
Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.

Jika kita menilik Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi akan berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.

Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Ke empat ciri birokrasi tersebut menandai kekuasaan pemerintahan pada masa orde baru dalam menancapkan hegemoninya dalam mempertahankan stabilitas politik nasional.

Politisasi Birokrasi Era Reformasi
Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. Salah satu orang brilian yang dimiliki oleh bangsa kita BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999, yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan, mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada publik (Public Service) sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi masa lalu ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa yang dikuasai, menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat. Mungkin dalam hal ini kawan-kawan bisa menilai atau bahkan pernah juga merasakan bagaimana “pelayanan Publik” yang ada di negeri kita.
Hal lain yang menjadi ciri perubahan birokrasi pada era reformasi adalah dengan di  cetuskannya Otonomi Daerah sebagai implementasi dan harapan pembangunan bangsa melalui kemandirian daerah yang ditandai oleh penyelenggaraan pemerintahan yang berazaskan desentralisasi, dekonsantrasi beserta perimbangan keuangannya (antara pusat dan daerah). Fase otonomi daerah ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai legalitas formalnya.

Salah satu ekses dari UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa dampak langsung terhadap keberadaan aparatur pemerintah (Baca Pegawai Negeri Sipil) terutama aparatur pemerintahan Daerah yang mau tidak mau harus tunduk  terhadap suatu kebijakan daerah tempatnya bertugas. Karena berdasarkan kedudukannya, PNS terikat dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, selain itu pada tingkatan organisasi, hubungan antara organisasi dengan PNS sebagai pegawai dilingkungan organisasi yang bersangkutan juga diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Pemegang otoritas kelembagaan tersebut, disisi lain pemegang otoritas kelembagaan pun harus tunduk terhadap kebijakan pemegang otoritas daerah dalam hal ini Kepala Daerah sebagai “puncak dari hierarki” dalam pemerintahan daerah.
Wwuuuhhh, cukup rumit juga kawan, sekarang kita korelasikan dengan masalah kita ( baca guru).

Guru diantara  sistem birokrasi dan politisasi di era Reformasi
Otonomi daerah boleh saja dianggap sebagai langkah maju dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Sayangnya, langkah tersebut kurang ramah bagi dunia pendidikan. Bahkan, otonomi daerah menambah carut marut tata kelola pendidikan. Boleh dibilang, otonomi daerah hanya memindahkan masalah dari pusat ke daerah.
Sejenak penulis teringat apa yang disampaikan oleh Dosen penulis sekaligus Sekretaris Jendral  Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Prof. Dr. Aim Abdulkarim, M.Pd, dalam suatu kongres IKA UPI menegaskan, otonomi daerah memicu mismanagement alias salah urus pendidikan akibat kurang profesionalnya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pendidikan, politisasi dan birokratisasi lembaga pendidikan tampak jelas di daerah. Beliau mencontohkan posisi dan pengangkatan kepala sekolah atau posisi kepala dinas dari orang yang tidak memahami pendidikan. Mutasi kepala sekolah cenderung bergantung pada keinginan kepala daerah sehingga tidak lagi didasarkan pada pertimbangan profesionalisme.  Penulis berasumsi bahwa langkah politisasi tersebut dapat diibaratkan sebagai kambing dibedaki pun akhirnya akan terlihat cantik.

Nah, disamping itu penulis pun  menemukan berbagai praktek penyelewengan birokratisasi dilevel daerah, diantaranya
Pertama bagimana secara tidak langsung PNS daerah termasuk pegawai fungsional (Baca guru) di mobilisasi pada tataran politik praktis dalam mendukung segala kebijakan politik yang dikeluarkan oleh “sang pemegang otoritas tertinggi” (kepala daerah). Belum lagi jika saat-saat menjelang pesta Demokrasi (Pemilukada) berlangsung, Para aparatur/pegawai pun menjadi sasaran empuk sebagai ‘Mesin Politik Cadangan” sekaligus corong dalam meraup suara atau dukungan.  Jika terdapat ada “pegawainya” yang tidak tunduk dan patuh pada”aturan main” yang berlaku, alamat sanksi yang menunggu. Bahkan Istilah Mutasi dan Demosi ke daerah yang terpencil sudah menjadi “wadah”empuk bagi siapa saja aparatur struktural maupun fungsional yang membangkang. Hal ini menjadi suatu yang kontradiktif di saat semangat dan misi profesionalisme terutama professionalisme guru di dengungkan sesuai dengan apa yang telah diuraikan diatas, kalo boleh penulis bilang tindakan tersebut sebagai penghianatan terhadap UU Nomor 43 Tahun 1999.  Bagaimana tidak, seorang guru yang mempunyai kualifikasi akademik memadai, memiliki kompetensi yang tidak usah diragukan lagi, dipindah tugaskan ke daerah terpencil dan tidak memegang jabatan profesional serta mengajar tidak sesuai dengan kompetensi akademik yang dimilikinya hanya karena keputusan dan pendiriannya bertolak belakang dengan kehendak atau “aturan main” yang ditetapkan oleh pemegang “otoritas tertinggi” di daerah.  Jangankan untuk memenuhi kesejahteraan, ketenangan dalam menjalani tugas yang sesuai dengan profesi “ke profesionalannya” pun sudah dihambat, pada akhirnya Tupoksi (tugas Pokok dan Fungsi) yang seharusnya di emban menjadi tidak optimal, alhasil kinerja yang seharusnya dilakukan secara profesional akan terganggu akibat dari produk birokrasi yang tidak profesional.

Kedua, persoalan rekruitmen guru, dimana terindikasi dibeberapa daerah tidak dilakukan secara profesional yang hanya menggunakan cara-cara koneksitas dan kolusi. Banyaknya kasus yang mengemuka tentang pencaloan pegawai negeri sipil (PNS), termasuk pengangkatan guru, menunjukkan pemerintah daerah tidak serius melakukan seleksi calon guru untuk menghasilkan para pendidik profesional.

Ketiga, Masih ditemukannya praktek pungutan prosentasi untuk “lembaga” tempatnya bernaung (Baca Guru Professional), dalam pencairan berbagai aliran dana yang seharusnya menjadi hak guru Profesional seperti Sertifikasi, Tunjangan Fungsional, dan sebagainya dengan dalih “Partisipasi” sebagai tanda terimakasih kepada “lembaga” yang telah mengurus administrasinya. Cara-cara demikian masih menandai kultur  birokrasi pada saat ini dan bukan saja merugikan masa depan pendidikan secara umum, tetapi merugikan pembangunan pendidikan di daerah tersebut.
Potret inilah yang saat sekarang ini marak terjadi diberbagai daerah baik ditingkatan Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Hal ini menjadi suatu bukti bahwa sistem birokrasi di era reformasi ini masih sama saja bahkan tidak ada bedanya dengan masa kolonialisme dulu bahkan semasa zaman kerajaan, yang menurut James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi.
Perlu di ingat ada “idigium”yang tertanam saat ini di sebagian kalangan masyarakat bahwa Kepala daerah diibaratkan sebagai “Raja Kecil” dalam suatu wilayah administratif yang dikuasainya, sehingga segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, bisa diterjamahkan melalui sebuah kebijakan “prerogatif”, sepanjang kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan aturan dan perundang-undangan tersebut. Namun di sisi lain penterjemahaan kebijakan tersebut terkadang tidak Kongruen dengan misi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan diatasnya dan terkesan multi tafsir, sehingga disinilah celah-celah untuk upaya politisasi menjadi sangat terbuka .
Berdasarkan temuan-temuan serta uraian diatas, sepertinya saat ini penulis menilai profesionalisme guru belum fokus dilaksanakan dan belum bermuara pada kesejahteraan tenaga pendidik. Sejauh ini, profesionalisme masih dipahami setengah hati dan basa-basi, bahkan lebih bernuansa politis. Dengan kata lain, penyelenggaraan profesi guru belum menyentuh terciptanya profesionalisme di lapangan. Yang menyedihkan, kesejahteraan yang merupakan implikasi dari guru profesional banyak dihambat birokrasi pusat dan daerah.

Carut marutnya pendidikan nasional tercermin dari tidak adanya blueprint yang menjadi komitmen bersama antara lembaga Kepresidenan dengan Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Arah pendidikan Indonesia berjalan tanpa landasan falsafah yan jelas, sehingga menyebabkan kekacauan. Ini disebabkan karena terlalu kuatnya kehendak intervensi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pndidikan bergantung pada interest kelompok penguasa.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan, dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program serta produk hukum  ‘Secara Kaffah” yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para elite politik dengan tujuan memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan. Namun sebagai Insan kamil, sekaligus Zoon Politicon, tidak seharusnya kita menyerah kepada nasib dan selalu berpangku tangan terhadap keadaan,  Setidaknya sumbangsih pemikiran layak dan berhak kita ajukan.

Rekomendasi

Pertama Pemerintah diharapkan lebih konsentrasi dan konsisten dalam menata dan mengelola pendidikan, yang tentunya tetap mengacu pada UUD 1945 dalam mengelola pendidikan sehingga pendidikan dapat dinikmati dan diakses seluruh lapisan masyarakat Indonesia

Kedua, Perlunya kajian terhadap pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga adanya ketegasan tugas dan wewenang masing-masing. Kewenangan pemerintah Daerah (Provinsi,Kabupaten/kota) yang terlalu besar saat ini berimplikasi pada tidak terbangunnya tata kelola pendidikan dengan baik. Perlu adanya penegasan wilayah kewenangan yang sesuai dengan kapasitas pemerintah daerah yang akan menentukan tata kelola yang baik dalam penjaminan mutu pendidikan di Indonesia. Ini sekaligus untuk menjawab permasalahan pertama dan kedua pada uraian diatas.

Ketiga, Memberikan pelayanan birokrasi yang jelas dan terencana dalam penyaluran kesejahteraan guru, dengan tidak memperpanjang birokrasi yang memperlambat proses kerja profesionalitas pendidikan. Pemerintah juga harus menciptakan budaya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan pada setiap jenjangnya,” Ini untuk menjawab masalah yang ketiga dari uraian diatas.

Keempat Jika rekomendasi yang Kedua dan ketiga masih terdapat kendala dan tidak bisa dijalankan, kiranya layak diajukan untuk mengevaluasi kembali Desentralisai pendidikan, tidak haram dan dosa jika kita layangkan tuntutan untuk kembali ke Sentralisasi pendidikan, bukan apa-apa hal ini sebagai jalan terakhir menjawab semua permasalahan ini.

Penutup
Tugas, peran dan fungsi guru secara professional dalam dunia pendidikan yang seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan yang menjadi haknya, ternyata saat ini masih “terkebiri” oleh jalannya sistem politisasi birokrasi terutama di daerah, hal ini menjadikan Profesionalisme Guru di Dunia pendidikan terkesan hanya kamuplase belaka.  Upaya dalam menciptakan guru profesional tidak diikuti oleh sistem birokrasi yang proporsional sehingga pada akhirnya eksistensi peran profesionalisme guru yang diharapkan oleh “Konstituen” pendidikan dikalahkan oleh “Libido dan Hasrat Politik” pemegang otoritas dengan menggunakan kendaraan bernama “BIROKRATISASI”.

Kiranya inilah mungkin yang menyebabkan penulis memasang wajah seperti uraian diatas, seakan rumit dalam mengurai benak kusut birokrasi, sulit menemukan formula pemecahan masalah Dunia pendidikan secara Kohesif, dan bingung mendefinisikan Profesionalisme secara Koheren. Pucat dan letih, Seiring dengan pucatnya wajah pendidikan di negara kita ditengah-tengah lingkaran “Erotisme” Kepentingan yang mengundang hasrat Kekuasaan.

Penulis  adalah Guru disalah satu SMPN SATU ATAP di Banten Selatan.
Tinggal kadang di Bandung kadang di Banten

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar