DILEMA KEBIJAKAN PENGHENTIAN
KURIKULUM 2013 DITENGAH-TENGAH MENINGKATNYA PROSES PEMBELAJARARAN MELALUI
KEGIATAN PENDAMPINGAN KURIKULUM 2013
Oleh : Yudha Dana Prahara
I.
PENDAHULUAN
Terbentuknya
Kabinet Kerja dibawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo
menjadi sebuah penawar baru ditengah-tengah
ekspektasi rakyat yang begitu tinggi akan adanya perubahan yang
revolusioner diberbagai sendi-sendi kehidupan bangsa. Bagaimana tidak, Presiden
Republik Indonesia yang ke-7 ini memberikan tugas kepada para pembantunya
(Menteri) untuk melakukan suatu perubahan yang bukan saja membuat program pro
Rakyat, tapi lebih kepada penekanan terhadap perombakan struktur dan program
kerja baru yang berbeda dari program kerja pemerintahan sebelumya dengan
prinsip pengukuran kinerja yang lebih efektif dan efesien.
Kebijakan
tersebut membawa pada suatu paradigma baru tentang perubahan kultur yang
ditujukan pada setiap kementrian secara progresif, yang mau tidak mau, suka
tidak suka harus disesuaikan dengan visi yang diusung oleh Kabinet kerja ala
pemerintahan Jokowi. Hal ini jika diterjemahkan secara sederhana berarti setiap
kementrian harus memiliki program kebijakan yang berbeda dari program kebijakan
kebinet pemerintahan sebelumnya (Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2) yang
tentunya berdasarkan pada hasil kajian dan evaluasi capaian program sebelumya.
Setiap
kementrian dituntut untuk memenuhi harapan rakyat dengan menciptakan
pembaharuan yang nyata, artinya program yang disusun dan dibuat oleh para
menteri harus bersifat progresif dan produktif. Setiap kementrian diharapkan dapat
membangun struktur kelembagaan secara profesional sehingga bermuara pada
ketepatan dan keakuratan dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya, hal
ini berlaku untuk seluruh kementrian.
Arahan
kebijakan yang diberlakukan pada setiap kementrian demi sebuah perubahan dan
perbaikan memanglah mutlak diperlukan sepanjang perubahan itu memang positif
yang dilandasi oleh hasil kajian dan evaluasi secara mendalam. Perubahan
kebijakan diperlukan jika kebijakan pemerintahan sebelumnya ditenggarai kurang
memberikan kontribusi yang produktif bagi kemajuan dan kepentingan bangsa.
Namun akan sangat disayangkan jika arahan kebijakan tersebut diterjemahkan
secara masif tapi tidak mempertimbangkan hasil kajian, evaluasi dan tolok ukur
keberhasilan dari kebijakan pemeritahan sebelumnya, artinya naif rasanya ketika
seluruh kementrian dipukul rata untuk merubah seluruh tatanan program kebijakan
tanpa mempertimbangkan nilai “kemudharatan dan kemashlahatan nya”, karena belum
tentu program kebijakan terdahulu tidak sesuai seluruhnya dengan semangat perubahan
ala pemerintahan Jokowi, dan bukan tidak mungkin program kebijakan terdahulupun
terdapat kesesuaian dengan visi yang diusung oleh pemerintahan sekarang, hal
tersebut bisa saja terjadi sepanjang ada komunikasi dengan pemerintahan
sebelumnya. Akan tetapi dinamika yang berkembang saat ini sepertinya tidak
mengarah kesana (harmonisasi jalinan komunikasi yang kuat), ada komunikasi yang
terputus antara pemerintahan terdahulu dengan pemerintahan sekarang melihat
masih terdapat kontroversi mengenai program kebijakan pemerintahan terdahulu
yang dianggap baik dalam pelaksanaannya namun dengan mudah dihentikan dan di
ubah struktur dan pelaksanaannya oleh pemerintahan sekarang, sehingga
memunculkan reaksi yang beragam dari publik, ada yang setuju dengan kebijakan
pemerintahan sekarang tapi tidak sedikit pula yang menyayangkan atas kebijakan
tersebut, bahkan ada beberapa pernyataan dari publik bahwa “pemerintahan
sekarang seakan dengan mudah menyalahkan kebijakan pemerintahan terdahulu”.
II.
Inkonsistensi Kebijakan Kurikulum
Apapun
anggapan publik tentang kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan sekarang, Presiden
tetap mempunyai hak prerogatifnya dalam menjalankan kekuasaan eksekutifnya,
sehingga mau tidak mau apa yang menjadi Pogram kerja untuk dijadikan kebijakan
harus tetap di dijalankan oleh seluruh kementrian, tak terkecuali Kementrian
Pendidikan Dan Kebudayaan yang saat sekarang tengah menjadi isu terhangat di
negeri ini terkait dengan penghentian Kurikulum 2013. Bagaimana tidak,
Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan pernah mengungkapkan
bahwasanya selama menjabat, ia tidak ingin ada anggapan ketika Ganti Menteri
tentunya harus ganti Kurikulum, namun nyatanya Kurikulum 2013 yang baru digagas
dan diimplementasikan kurang lebih selama 1,5 tahun dihentikan sementara bagi
sekolah-sekolah atau satuan pendidkan tertentu, kebijakan ini tentunya menuai
pro dan kontra terutama bagi mereka yang bergelut di bidang pendidikan.
Mengenai
pro kontra pelaksanaan kurikulum 2013 yang saat sekarang ini dihentikan
sementara bagi sekolah atau satuan pendidikan yang baru menjalankan kurikulum selama
satu semester, dan dilanjutkan bagi Satuan Pendidikan yang sudah menjalankan
Kurikulum 2013 selama tiga semester tentunya menuai reaksi yang cukup beragam
pula, ada yang sangat mengapresiasi dan “senang” atas penghentian kurikulum
2013 tersebut, tidak sedikit pula yang bereaksi keras menolak penghentian
kurikulum 2013 ini. Salah satunya adalah Rektor Universitas Wisnuwardhana
Malang Prof. Dr. Suko Wiyono. Beliau menilai kebijakan pencabutan kurikulum
2013 oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan merupakan diskriminasi dalam dunia
pendidikan, Pasalnya, kebijakan itu tidak diterapkan kepada seluruh sekolah.
Lebih
lanjut beliau menyatakan bahwa ketidakmerataan
pemberlakuan kurikulum tersebut memicu diskriminasi dalam dunia pendidikan
karena ada sekolah yang dipaksa kembali memberlakukan kurikulum 2006 (KTSP) dan
ada sebagian sekolah yang dengan leluasa menerapkan kurikulum 2013. Padahal,sejak
diberlakukannya kurikulum 2013 tersebut, hampir seluruh sekolah berupaya untuk
menerapkannya dengan cara berusaha memberikan pelatihan guru secara bertahap
dan memenuhi kebutuhan buku-bukunya sebagai panduan dalam proses belajar mengajar.
Selain ada upaya diskriminasi, juga ada upaya pembedaan kualitas pendidikan di
Tanah Air yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan yang tidak
merata. Sebab, ada sebagian sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 dan ada
sekolah yang kembali menerapkan kurikum 2006 (KTSP). Kondisi tersebut,
merupakan bentuk pendidikan yang mulai mengarah pada liberalisasi. Padahal,
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak perlu merombak
total atau mencabut kurikulum yang baru diberlakukan 1,5 tahun terakhir ini. (Sumber
: Kompas.com. Rabu,
17 Desember 2014)
Pendapat
Suko Wiyono ini boleh jadi merupakan representasi dari pendapat publik yang
menolak kebijakan penghentian kurikulum 2013 ini, termasuk penulis yang saat
ini (mohon maaf) kurang setuju dengan penghentian kurikulum bagi sebagian besar
sekolah di negara ini, walaupun kesannya tendensius bukan berarti penulis
bersikap apriori, semata karena mutlak pandangan dan pendapat penulis sendiri
dalam membaca dinamika yang berkembang dalam konteks negara demokrasi tentunya.
Adalah hal yang sangat wajar ketika terjadi sikap pro dan kontra dalam
menyikapi penghentian kurikulum 2013 ini, karena seperti diketahui kurikulum
merupakan landasan atau pijakan bagi pelaksanaan sistem pembelajaran dalam
dunia pendidikan di negeri ini, namun sikap pro dan kontra ini tentunya harus
di sikapi pula oleh sikap yang wajar dan berimbang agar terhindar dari gejolak
yang berpotensi membuat terganggunya tatanan sosial di dunia pendidikan. Terlepas
dari pro dan kontra ini, ada beberapa alasan yang membuat penulis kurang setuju
dengan kebijakan penghentian kurikulum 2013 diantaranya :
Pertama, Penulis sependapat dengan Prof. Dr.
Suko Wiyono bahwasanya penghentian Kurikulum 2013 akan memicu diskriminasi di
dunia pendidikan khususnya di Sekolah atau satuan pendidikan, karena perbedaan
kurikulum yang di jalankan. Hal ini bukan saja menyangkut perbedaan kualitas di
tiap satuan pendidikan, namun lebih kepada perbedaan output penilaian pada siswa
atau peserta didik. Sebagai contoh sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 akan
memiliki raport yg lebih konsisten dengan 3 penilaian (Sikap, Pengetahuan dan
Keterampilan), sebaliknya sekolah yang kembali ke KTSP (kurikulum 2006)
tentunya kembali ke raport semula yang hanya menilai aspek pengetahuan saja,
padahal sebelumnya peserta didik sudah menerima Raport dengan 3 aspek
penilaian. Selain itu salah satu alasan Mendikbud Anis Baswedan yang tetap
menerapkan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang sudah menerapkan selama 3 semester
karena dianggap Sumber Daya Manusia nya sudah siap dan mumpuni, hal ini dikhawatirkan
menambah indikator diskriminasi selanjutnya, karena tolok ukur kesiapan SDM
(Guru dan tenaga kependidikan) tidak bisa hanya diukur pada tempat atau sekolah
yang dijadikan percontohan, bahkan belum tentu pula sekolah yang bukan
percontohan (sekolah yang kembali menerapkan KTSP) tidak memiliki SDM yang siap dan mumpuni dalam
melaksanakan Kurikulum 2013 ini.
Kedua,Anggaran yang telah dikeluarkan
untuk implementasi kurikulum 2013 bukanlah angka yang sedikit, cakupan anggaran
tersebut dikeluarkan antara lain untuk pengadaan buku kurikulum 2013, program pelatihan
SDM (Pengawas, Kepsek, guru dan stake holder lainnya), pengadaan alat peraga dan
lain sebagainya secara nasional, anggaran yang mencapai triliunan rupiah itu
akan terasa sangat “mubazir” ditengah-tengah program pemerintah sekarang ini
yang katanya mengutamakan efesiensi dalam pengeluaran APBN.
Ketiga, Rasionalisasi dan landasan
penghentian kurikulum 2013 bagi sebagian besar sekolah dirasa sangat lemah,
bahkan menimbulkan pertanyaan menggelitik, diantaranya seperti : apakah cukup
hanya dengan hasil temuan dan keluhan dari segelintir pihak saja yang merasa
“tidak mampu” dan keberatan dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 ini
sehingga harus dihentikan?, apakah hasil pertimbangan dan masukan tim evaluasi
kurikulum selama ini valid sehingga dijadikan acuan dalam penghentian kurikulum?
berlandaskan data dan fakta darimana sehingga tim evaluasi ini dengan mudah
mengusulkan penghentian kurikulum 2013? Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak
dikemukakan disaat program pendampingan kurikulum yang dilaksanakan secara
bertahap diseluruh wilayah di negeri ini pun belum diterima data dan laporannya
secara menyeluruh oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah selaku operator
implementasi kurikulum 2013. Hal tersebut mungkin bagi Mendikbud dianggap tidak
bisa dijadikan representasi, namun perlu diingat bahwa laporan para pendamping
kurikulum diseluruh Indonesia adalah data primer yang sangat valid jika ingin
dipakai sebagai tolok ukur dan gambaran implementasi kurikulum 2013 selama ini,
karena bagaimanapun tim pendamping sebagai pengembang kurikulum di tingkat
paling bawah merupakan ujung tombak dalam mensosialisasikan implementasi
kurikulum 2013, oleh karena itu walaupun tugas utama pendamping kurikulum
adalah sebagai tim sosialisasi namun disisi lain mereka juga mempunyai gambaran
dan data sesungguhnya bagaimana proses dan penerapan implementasi kurikulum
2013 dilapangan (tingkat satuan pendidikan / sekolah) termasuk dapat
menggambarkan bagaimana kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya.
Keempat, didalam kurikulum 2013 terdapat
istilah matrikulasi atau Bridging Cource,
yaitu program untuk meningkatkan kemampuan awal (Penyamaan bekal awal)
peserta didik diberbagai tingkatan, terutama di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, Matrikulasi
ini secara teknis berupa penyesuaian materi yang terdapat pada setiap mata
pelajaran yang harus disesuaikan dengan struktur kurikulum 2013 dimana didalamnya terdapat tujuan dalam
menyamakan dan melengkapi kemampuan awal siswa yang mencakup Sikap, Pengetahuan
dan Keterampilan dengan prinsip pembelajaran Saintifik dan penilaian secara
Otentik. Oleh karena itu sudah barang tentu terdapat perubahan materi (pokok
bahasan) dari KTSP ke Kurikulum 2013, sebagai contoh salah satu materi atau
Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran PPKn Tentang “Kedaulatan Rakyat” kelas 8
SMP/MTs yang sebelumnya ada di KTSP di semester 2, ternyata dalam kurikulum
2013 ada di kelas 8 semester 1, sehingga peserta didik mau tidak mau harus
dibekali dan disesuaikan terlebih dahulu, karena hal tersebut akan bermuara
pada evaluasi atau penilaian secara bertahap dan berjenjang. Dengan adanya
kebijakan kembali lagi ke KTSP bagi sebagian besar sekolah / satuan pendidikan
tentunya materi-materi tersebut akan kembali seperti semula, yang menjadi lucu adalah
hasil evaluasi (Raport) di semester 1 kelas 8 mata pelajaran PPKn Kurikulum
2013 penilaian KD tentang “Kedaulatan
rakyat” sudah tercantum dalam deskripsi di raport, sehingga materi / KD tentang
Kedaulatan rakyat sudah diberikan di semester 1, hal ini berpotensi memunculkan
kebingungan, bagaimana tidak ketika mau disesuaikan kembali ternyata sulit,
karena di semester 2 KTSP materi yang dibahas tinggal 2 KD, sementara di
Program Semester (Promes) tercantum ada 3 KD, selain itu dalam Raport semseter
1 kelas 7 dan 8 sudah terdapat Deskripsi Hasil belajar yang menjabarkan
Tiap-tiap KD semester 1 yang telah dicapai oleh peserta Didik. Kasus ini baru
muncul di 1 (satu) mata pelajaran, belum lagi
pada mata pelajaran lain yang kemungkinan memunculkan potensi yang sama.
Hal-hal teknis seperti inilah yang menurut penulis luput dari perhatian “para
pengambil kebijakan”, sehingga mempertegas sikap ketidak setujuan penulis
terhadap kebijakan ini.
III. Data
Pendukung dalam implementasi Kurikulum 2013
Hal-hal
yang menyangkut tentang banyaknya kelemahan dalam implementasi kurikulum 2013
yang dijadikan dasar kuat oleh tim evaluasi kurikulum 2013 hingga berujung keputusan
Mendikbud untuk menghentikan sementara Kurikulum 2013 bagi sebagian besar
sekolah memang cukup beralasan namun agaknya kurang mendasar, karena sekali
lagi penulis belum menemukan data primer dan meyakinkan mengenai alasan mengapa
Kurikulum 2013 ini harus dihentikan. Malah sebaliknya penulis mempunyai data
tersendiri bahwa kurikulum 2013 layak untuk dipertahankan dan bahkan
dilanjutkan untuk seluruh satuan pendidikan. Data tersebut penulis peroleh
ketika melaksanakan tugas pendampingan untuk mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) SMP di Wilayah Bina 7 Kabupaten Lebak
provinsi Banten. Pelaksanaan Pendampingan sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk
melaksanakan penilaian (monitoring) kepada guru sasaran, namun merupakan proses
pemberian bantuan penguatan pelaksanaan kurikulum 2013 pada satuan pendidikan
yang dilandasi oleh prinsip profesional, kolegial, sikap saling percaya dan
berkelanjutan (pasal 1 dan pasal 3 Permendikbud No.105 thn.2014), akan tetapi instrumen
yang digunakan dalam pelaksanaan pendampingan tersebut memuat kolom indikator
ketercapaian 3 kompetensi (Perencanaan, Pelaksanaan dan penilaian) yang harus
di isi secara kuantitatif oleh setiap pembimbing, sehingga dalam hal ini
penulis tertarik untuk sekalian saja mengumpulkan dan menginventarisir data yang berhasil di susun
dalam rangkaian kegiatan pelaksanaan pendampingan kurikulum 2013. Walaupun populasi
dan sampel yang digunakan secara kaidah ilmiah kurang memenuhi standar untuk
dijadikan tolok ukur secara holistik, tapi setidaknya sebagian kecil data ini diharapkan
bisa memberikan gambaran bagaimana Kurikulum 2013 ini dapat dilanjutkan.
Guna
memperkuat alasan-alasan tersebut, berikut penulis sampaikan data-data secara
deskriptif. Dari 35 Sekolah Menengah Pertama di wilayah bina 7 Kabupaten Lebak
Provinsi Banten terdapat populasi Guru Sasaran sebanyak 350 orang dari 10 Mata
Pelajaran berbeda. Dari jumlah tersebut penulis ambil sampel 35 orang guru yang
mengampu Mata Pelajaran PPKn, karena ke 35 guru tersebut merupakan guru sasaran
yang langsung dibawah arahan penulis dalam rangka melaksanakan tugas
pendampingan kurikulum 2013. Adapun instrumen pendampingan yang digunakan
meliputi 3 aspek yaitu : Perencanaan, Pelaksanaan dan Penilaian. Observasi
serta perlakuan tindakan pendampingan dilakukan oleh penulis pada 3 (tiga)
kegiatan yaitu Pertama Kegiatan IN Service
1 yang diadakan di sekolah Induk kluster (Sekolah Induk yang membawahi 5
Sekolah sasaran), Kedua Kegiatan ON
Service (bertempat di sekolah masing-masing) dan Ketiga
Kegiatan IN Service 2 (bertempat di sekolah Induk Klaster). ke tiga aspek
yang dijadikan objek penilaian meliputi beberapa indikator daiantaranya :
1.
Perencanaan yang meliputi : kemahiran guru
dalam menyusun dan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kurikulum
2013 diantaranaya : Pengisian Identitas, Kompetensu Inti (KI), Kompetensi Dasar
(KD), Indikator Pencapaian Kompetensi, materi Pembelajaran, pelaksanaan
Pembelajaran dan perumusan teknik alat penilaian.
2.
Pelaksanaan yang meliputi : penguasaan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran dari mulai kegiatan Pendahuluan, Kegiatan inti dan Kegiatan
Penutup. Dalam proses ini guru di tuntut untuk menerapkan kegiatan pembelajaran
melalui pendekatan Saintifik yang bersumber pada siswa, memanfaatkan strategi
belajar yang mendidik dengan menerapkan
kegiatan 5 M (Mengamati, Menanya, Mencari Informasi, Mengasosiasi dan
Mengkomunikasikan) serta memanfaatkan sumber dan media belajar yang efektif.
3.
Penilaian yang meliputi : kemampuan guru dalam
melaksanakan penilaian otentik diantaranya penilaian Sikap, Pengetahuan dan
Keterampilan. Kompetensi yang diharapkan dalam melaksanakan evaluasi atau
penilaian ini adalah bagaimana Guru dapat menyusun alat, Bentuk, teknik dan
instrumen yang cocok dalam melaksanakan penilaian baik terhadap peserta didik
maupun antar peserta didik (penilaian antar teman).
Adapun
langkah teknis dalam pengumpulan data, penulis ambil pada dua kegiatan, yaitu
data pertama diambil pada kegiatan IN service 1 yang dilaksanakan di sekolah
Induk klaster, sedangkan data kedua diambil pada kegiatan On Service di Sekolah
Masing-masing. Pada kegiatan pertama In Service 1, Guru
Dikumpulkan di sekolah Induk Kluster
untuk bersama-sama melaksanakan pendampingan. Pada kegiatan tersebut Guru-guru
sasaran diminta untuk menyerahkan administrasi pembelajaran berupa Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Dokumen Penilaian (Evaluasi). Kegiatan
dilanjutkan dengan peer teaching secara
berkelompok. Hasil pada kegiatan pertama ini terhimpun permasalahan yang cenderung
sama terkait kesulitan guru dalam Perencanaan dan penilaian, yang meliputi :
Penyusunan indikator Pencapaian Kompetensi, penyusunan instrumen dan membuat rubrik penilaian.
Kesulitan-kesulitan ini ditindaklanjuti dalam kegiatan ON Service di sekolah
masing-masing dengan diberikan layanan khusus berupa pengarahan implementasi
Kurikulum 2013 sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk Teknis pada Buku
I sampai Buku 3 implementasi Kurikulum 2013.
Berdasarkan
hasil kegiatan ON Service yang di evaluasi di IN 2, terdapat Perubahan yang
cukup signifikan dalam pengimplementasian kurikulum 2013 ini. Berikut hasil
prosentase hasil kegiatan ON Service :
NO
|
ASPEK PENILAIAN (PROSENTASE PENCAPAIAN)
|
||||||||
SEBELUM ON SERVICE
|
SETELAH ON SERVICE
|
||||||||
PERENCANAAN
|
PELAKSANAAN
|
PENILAIAN
|
PERENCANAAN
|
PENINGKATAN
|
PELAKSANAAN
|
PENINGKATAN
|
PENILAIAN
|
PENINGKATAN
|
|
1
|
76,95 %
|
60,94 %
|
40,63%
|
84,77%
|
7,81%
|
78,91%
|
17,97%
|
54,69%
|
14,06%
|
Dari
tabel tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.
Perencanaan
a. Perencanaan
Sebelum
Kegiatan On Service:
Dari
35 Guru Sasaran Mata Pelajaran PPKn yang ada di Wilayah Bina 7 Kab. Lebak,
kemampuan guru dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai
dengan Permendikbud No.103 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran pada
Kurikulum 2013 sudah cukup baik, hal ini terlihat malah sebelum kegiatan ON
Service dilaksanakan. Guru rata-rata dapat membuat Perencanaan dengan capaian
sebesar 76,95 % dari seluruh aspek Perencanaan yang harus di capai
b. Perencanaan
Setelah
On Service :
Setelah
kegiatan ON Service dilaksanakan, guru semakin terampil dalam membuat Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Guru rata-rata dapat membuat Perencanaan dengan
capaian sebesar 84,77 % dari seluruh aspek Perencanaan yang harus di capai atau
meningkat 7,82 % dari capaian sebelumnya.
2.
Proses
PBM / Pelaksanaan
a. Pelaksanaan
/ Proses PBM di kelas sebelum On Service
Dari
35 Guru Sasaran Mata Pelajaran PPKn yang ada di Wilayah Bina 7 Kab. Lebak,
kemampuan guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran yang sesuai dengan Permendikbud
No.103 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pembelajaran pada Kurikulum 2013 sudah cukup baik, hal ini terlihat juga
sebelum kegiatan ON Service dilaksanakan. Guru rata-rata dapat melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan prinsip 5 M / Saintifik dengan capaian sebesar 60,94 % dari seluruh
aspek Pelaksanaan pembelajaran yang harus di capai.
b. Pelaksanaan
/ Proses PBM di kelas setelah ON Service
Setelah
kegiatan ON Service dilaksanakan, guru semakin terampil dalam melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan prinsip 5 M / Saintifik. Guru rata-rata dapat
melaksanakan pembelajaran dengan capaian sebesar 78,91 % dari seluruh aspek
Pelaksanaan pembelajaran yang harus di capai. Dari data tersebut membuktikan
ada peningkatan sebesar 17,97 % dari capaian sebelumnya.
3.
Penilaian
- Pelaksanaan
Penilaian Sebelum On Service
Dari
35 Guru Sasaran Mata Pelajaran PPKn yang ada di Wilayah Bina 7 Kab. Lebak,
kemampuan guru dalam melaksankan Penilaian yang sesuai dengan Permendikbud
No.104 tentang Penilaian Hasil Belajar pada Kurikulum 2013 memang masih mengalami
kesulitan, hal ini terlihat sebelum kegiatan ON Service dilaksanakan. Guru
rata-rata dapat melaksanakan penilaian dengan capaian sebesar 40, 63 % dari
seluruh aspek Penilaian yang harus di capai.
- Pelaksanaan
Penilaian Setelah On Service
Setelah
kegiatan ON Service dilaksanakan, ada peningkatan yang cukup signifikan, Guru
rata-rata dapat melaksanakan penilaian dengan capaian sebesar 54,69 % dari
seluruh aspek Perencanaan yang harus di capai atau meningkat 14,06 % dari
capaian sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa meskipun guru mengalami kesulitan
dalam merancang dan melaksanakan penilaian, namun seiring dengan pembiasaan dan
ketekunan, maka aspek penilaian kurikulum 2013 bukan tidak mungkin dapat
terlaksana secara utuh.
Berdasarkan
data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup
signifikan yang dialami oleh Guru-guru sasaran dalam mengimplementasikan
Kurikulum 2013 setelah ikut dalam proses pendampingan diantaranya :
1.
Kemampuan guru dalam menyusun dan
membuat Perencanaan Pembelajaran (RPP) meningkat sebesar 7,81%
2.
Kemampuan guru dalam melaksanakan Proses
Pembelajaran (PBM) meningkat sebesar 17, 97%
3.
Kemampuan guru dalam melaksanakan
Penilaian otentik dalam Pembelajaran meningkat sebesar 14,06 %
Data
tersebut sekali lagi walau hanya memiliki populasi dan sampel yang kecil namun setidaknya
dapat memberikan gambaran bahwa Kurikulum 2013 sebetulnya sangat layak untuk
dipertahankan dan dilanjutkan secara menyeluruh dalam pelaksanaannya. Sangat
sulit rasanya bagi penulis untuk menerima kebijakan penghentian kurikulum 2013
ini untuk sebagian besar satuan pendidikan (sekolah) yang baru menjalankan
kurikulum 2013 selama satu semester, karena justru data sekolah yang penulis
ambil sampelnya merupakan sekolah-sekolah yang baru melaksanakan kurikulum 2013
selama satu semester dan sekolah-sekolah tersebut secara geografis cenderung terletak
di daerah yang jauh dari perkotaan (andai kata tidak mau disebut pedalaman).
IV.
Penutup
Berdasarkan hal tersebut kiranya
tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih
saran bagi pemerintah pada umumnya dan Kemendikbud pada khususnya bahwa
suatu kebijakan akan sangat “berdasar” dan dapat dipertanggungjawabkan
dihadapan publik jika dalam pengambilan keputusannya berlandaskan pada hasil
kajian data dan fakta sahih dilapangan secara holistik dengan mempertimbangkan
hasil evaluasi secara komprehensif, bukan hanya sekedar pengamatan terhadap
gejala-gejala umum, laporan dan rekomendasi tim evaluasi saja apalagi
berdasarkan atas keluhan dari segelintir pihak yang kontras akan kebijakan
sebelumnya. Jika “Kegalauan” Menteri Pendidikan tentang “ dilema kurikulum 2013” antara dihentikan
atau dilanjutkan dan kedua-duanya memiliki resiko layaknya “buah simalakama” seperti
yang dinyatakan dalam berbagai Media massa pada saat itu, maka tidakkah
berpikir sesungguhnya masih ada jalan tengah yang bisa ditempuh
semisal pemerintah (Kementrian Pendidikan) hanya melakukan evaluasi dan
penyempurnaan saja, sambil berjalan kurikulum 2013 tersebut dievaluasi dan
dikaji, dimana kekurangannya dan dimana kelebihannya, adapun kekurangan itulah
yang disempurnakan. Bukankah langkah-langkah evaluasi kurikulum sudah termaktub
dengan sangat jelas dalam Permendikbud No.159 tahun 2014 tentang Evaluasi
Kurikulum? Apalagi dalam pasal 2 ayat (4) tertera sangat jelas bahwasanya tujuan
dari evaluasi kurikulum adalah untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian antara ide kurikulum
dan desain kurikulum, antara desain kurikulum
dan dokumen kurikulum, antara dokumen kurikulum dan implementasi kurikulum,
serta antara ide kurikulum, hasil kurikulum, dan dampak kurikulum.
Informasi-informasi tersebut hanya bisa didapatkan melalui suatu proses berjenjang
melalui pendekatan, model dan strategi evaluasi kurikulum yang efektif yang
dilakukan secara deduktif atau induktif dengan langkah-langkah sistematik dan
sistemik untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat dan valid. Akan
tetapi pada akhirnya ternyata kerangka dasar evaluasi kurikulum yang telah
disusun secara baik dan “apik” ini tinggalah “puing-puing produk hukum mati”
seiring dengan terbitnya “produk hukum pengganti” yang dianggap oleh beberapa
kalangan sarat akan kontroversi.
Penulis adalah Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
SMPN Satap 7 Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten
Daftar Pustaka
-
________________, 2014 Pencabutan Kurikulum 2013 dinilai
diskriminasi,Malang : Kompas.com Rabu, 17 Desember 2014.
-
Kemendikbud, 2014 Instrumen Pendampingan Pelaksanaan Kurikulum
2013 untuk SMP tahun 2014, Jakarta :
Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan SMP
-
Kemendikbud,
2014 Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.159 tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum, Jakarta : Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan
-
Kemendikbud,
2014 Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.159 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pembelajaran pada Kurikulum
2013, Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan