Jumat, 06 Januari 2023

 

BUDAYA POSITIF

 

Oleh: Yudha Dana Prahara, M.Pd

CGP Angkatan 7 Kabupaten Bandung

SMPN 1 Pacet Kabupaten Bandung

 

A.   Latar Belakang

 

Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian,  karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.

Ki Hajar Dewantara mengumpamakan sekolah sebagai sebuah ladang tempat persemaian bibit, agar bibit bisa perkembang secara maksimal maka petani dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara bibit tanaman, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup bibit tanaman dan lain sebagainya. Dari uraian tersebut, kita dapat memahami bahwa sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh, serta dapat menjaga dan melindungi setiap murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat, atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid.

Dengan demikian, salah satu tanggung jawab seorang guru adalah bagaimana menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik; dari kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah, dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.

Dalam mewujudkan budaya positif perlu adanya disiplin positif. Mari kita bahas tentang konsep disiplin positif dan motivasi melakukan disiplin positif dalam budaya positif.

 

 

B.   Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal

1.   Disiplin Positif

Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata ‘disiplin’ juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.

Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa:

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).

Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:

mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid yang dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

 

2.   Nilai-nilai Kebajikan Universal

Nilai-nilai kebajikan universal merupakan nilai - nilai kebajikan yang disepakati bersama , lepas dari suku, bangsa, agama, bahasa, maupun latar belakangnya. Nilai-nilai universal bagaikan payung besar dari perilaku dan sikap kita atau sebagai pondasi kita dalam berperilaku.

Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.

Berikut ini contoh nilai nilai kebajikan dari beberapa institusi/ organisasi : Profil Pelajar Pancasila yakni Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong dan Kreatif. IBO Primary Years Program (PYP). yakni sikap Murid : Toleransi, Rasa Hormat, integritas, Mandiri, Menghargai, Antusias, Empati, Keingintahuan, Kreativitas, Kerja sama, Percaya diri, Komitmen. Sembilan Pilar Karakter (Indonesia Haritage Foundation/IHF).

 

C.   Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi

1.   3 Motivasi Prilaku Manusia

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:

a.    Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.

b.    Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi iniakan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.

c.     Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

 

2.   Hukuman dan Penghargaan

a.    Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi

Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi. Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.

Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.

Adapun Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi juga merupakan disiplin positif yang dapat diterapkan pada masalah siswa di kelas atau di sekolah.

Kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi.

b.    Restitusi Sebuah Cara Menanamkan Disiplin Positif Pada Murid

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh karakternya, ketika mereka melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.

Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya.

1)      Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

2)      Restitusi memperbaiki hubungan

3)      Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

4)      Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri

5)      Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari Tindakan

6)      Restitusi diri adalah cara yang paling baik

7)      Restitusi fokus pada karakter bukan Tindakan

8)      Restitusi menguatkan

9)      Restitusi fokus pada solusi

10)   Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya

 

3.   Keyakinan Kelas

Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Dalam mewujudkan prilaku warga sekolah yang memiliki budaya positi hal pertama perlu diciptakan dan disepakati adalah membuat keyakinan- keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan yang disepakati Bersama.

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja ? jawabannya adalah suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu yang membuat ketidaknyamanan dan keterpaksaan. Berikut adalah cara pembuatan keyakinan kelas.

Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas:

·         Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.

·         Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

·         Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

·         Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

·         Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.

·         Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

·         Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

 

D.   Restitusi - Lima Posisi Kontrol

Disiplin positif yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol, diantaranya:

1.    Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang- orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi.

2.    Pembuat Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.

3.    Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang.

4.    Pemantau: Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan- peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.

5.    Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan.

 

 

E.   Segitiga Restitusi

Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Pendekatan segitiga restitusi melalui proses tiga tahapan didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol, yaitu:

 

Tahapan

Teori Kontrol

1

Menstabilkan Identitas

Stabilize the Identity

Kita semua akan melakukan hal terbaik yang

bisa kita lakukan

2

Validasi Tindakan yang Salah

Validate the Misbehaviour

Semua perilaku memiliki alasan

3

Menanyakan Keyakinan

Seek the Belief

Kita semua memiliki motivasi internal

 

Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah langkah tersebut tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.

 


Segitiga Restitusi

 

1.   Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)

Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak.

2.   Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbehavior)

Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

 

 

3.   Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.

 

 

F.   Penutup

Demikianlah pembahasan materi 1.4 Budaya Positif, Yang saya ambil dari dalam LMS Pendidikan Guru Penggerak, Semoga kita semua dapat melaksanakan Budaya Positif dalam kehidupan sehari demi terwujudnya tujuan pembelajaran yang kita harapkan. Aamiin

 

 

Sumber : Paket Modul 1 Paradigma dan Visi Guru Penggerak. Modul 1.4. Budaya Positif

Rabu, 13 Oktober 2021

Nilai Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten Dalam Upaya Membangun Karakter Bangsa (Studi Etnografi Pada Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten)

Keywords:        Kearifan Lokal, Budaya, Karakter Bangsa

Abstract:           Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakan dengan kebudayaan  lain  yaitu  dikenal  dengan  masyarakat  religius.  Pada  kebudayaan Sunda  keseimbangan  magis  (dalam  ilmu  hukum  adat  disebut  religio  magis) dipertahankan  dengan  cara  melakukan  upacara-upacara  adat,  sedangkan keseimbangan  sosial  masyarakat  Sunda  dilakukan  dengan  gotong  royong.  Salah  satu  kebudayaan  Sunda  yang  masih bertahan  adalah tradisi Upacara adat Serentaun pada Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten. Ritual ini merupakan salah satu contoh kearifan lokal dari hal adat istiadat yang didalamnya terdapat beberapa aktivitas yang sarat akan nilai positif seperti : Ngarasul, Pongokan, Ngalaukan dan Balik Taun. Tradisi tersebut sejatinya mengandung nilai-nilai positif karakter bangsa. Artikel ini membahas tentang Nilai-nilai Kearifan lokal masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten dalam Upaya membangun karakter Bangsa. Masalah ini telah menarik perhatian kami untuk melakukan penelitian ilmiah. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi Etnografi. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun ini memiliki ragam aktivitas masyarakat yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia, terutama Lima karakter utama dalam mengimplementasikan Penguatan pendidikan karakter (PPK) yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), Yaitu: Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotongroyong dan Intergritas..


1    INTRODUCTION

Nilai-nilai positif bangsa seperti Nasionalisme, Nilai religius, nilai kemanusiaan, integritas, persaudaraan, gotong royong, dan sikap  ketauladanan saat ini  mulai  banyak  terkikis  di  dalam  lingkungan  budaya masyarakat. Masuknya era Globalisasi setidaknya mempengaruhi sikap dan paradigma berpikir masyarakat saat ini seperti munculnya modernisme budaya konsumtif, egoisme individu dan kelompok sampai pada titik yang memprihatinkan adalah praktik mengahalalkan segala cara.  Hal tersebut menandakan eksistensi budaya dan nilai nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sampai saat ini belum optimal dalam upaya membangun karakter masyarakat dalam hal ini karakter warganegara, bahkan setiap saat kita saksikan berbagai macam tindakan Pathology Sosial (penyakit sosial masyarakat) yang berakibat pada kehancuran suatu bangsa yakni menurunnya perilaku sopan santun, kejujuran, kebersamaan dan gotong royong diantara anggota masyarakat. Sejalan dengan pernyataan di atas, diduga sumber terjadinya berbagai perilaku buruk di masyarakat adalah munculnya kebencian sosial budaya terselubung  (socio-cultural animosity)  (Budimansyah, 2010,hlm.7).

Sehubungan dengan hal tersebut menurut Lickona (1992, hlm.32) terdapat 10 (sepuluh) tanda dari perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa  yaitu : (1)Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; (2) Ketidakjujuran yang membudaya; (3) Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pigur pemimpin; (4) Pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan; (5) meningkatnya kecurigaan dan kebencian; (6) Penggunaan bahasa yang memburuk; (7) Penurunan etos kerja; (8) Menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warganegara; (9) Meningginya prilaku merusak diri; (10) Semakin kaburnya pedoman moral

Sepuluh tanda perilaku tersebut dikhawatirkan membawa dampak sosial yang menyebabkan benturan  nilai, pada kondisi tertentu masyarakat akan mengalami krisis identitas, tidak mustahil jika terus berlarut berpotensi pula terjadi perpecahan bangsa. Di dalam situasi kebingungan mencari rujukan untuk memecahkan berbagai macam persoalan, ada kecenderungan sebagian masyarakat kita ingin kembali pada kearifan lokal yang sudah teruji berabad-abad lamanya dalam mengatasi berbagai macam persoalan kehidupan.

Kecintaan terhadap budaya lokal merupakan salah satu wujud dari rasa memiliki yang tinggi terhadap nilai kearifan lokal disuatu daerah. Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba (2007, hlm.330) mengatakan bahwa: “kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat”.

Kearifan lokal sebagai bagian dari konstruksi budaya menurut Haba ini, menunjukan bahwa nilai nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat digunakan sebagai panduan dan tuntuntan dalam menjalankan setiap aktivitas sosialnya. Untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka perlu memahami nilai-nilai budaya baik yang ada di dalam wilayah tersebut, seperti beberapa budaya adat daerah yang diwujudkan   dalam  berbagai  bentuk  kegiatan  seperti  upacara-upacara  adat yang dilakukan secara turun-temurun.

Salah  satu  kebudayaan  Sunda  yang  masih  bertahan kelestariannya yaitu ritual upacara adat Serentaun pada masyarakat adat Cisitu Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Banten. Ritual ini merupakan salah satu contoh kearifan lokal dari hal adat istiadat,  di  samping  nilai,  norma,  etika,  kepercayaan,  hukum  dan  aturan -aturan khusus lainnya yang terdapat pada masyarakat tradisional ini. 

Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun  ini merupakan salah satu dari sekian banyak aktivitas yang menjadi corak masyarakat Adat Cisitu, ragam aktivitas masyarakat adat Cisitu setidaknya memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia, terutama dalam mengimplementasikan 5 (Lima) nilai utama karakter Bangsa dalam program Penguatan pendidikan karakter (PPK), yaitu, Religius, Nasionalis, Kemandirian, Gotongroyong dan Integritas.

Pembangunan karakter bangsa melalui kearifan budaya lokal sangatlah dibutuhkan. Pembangunan karakter bangsa dapat ditempuh dengan cara menerapkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa merupakan Fondasi bagi kuat dan kokohnya nilai kebangsaan Indonesia dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Budimansyah (2010, hlm.1) pembangunan bangsa dan pembangunan  karakter  (nation  and  character  buiding)  merupakan  dua  hal  utama  yang  perlu dilakukan bangsa Indonesia agar dapat mempertahankan eksistensinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam artikel ini yaitu “Bagaimana Nilai-Nilai kearifan lokal masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten dalam upaya membangun karakter bangsa?”.

 

2  THEORITICAL

2.1     Kebudayaan

Dari segi etimologis, kebudayaan berasal dari kata budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009, hlm.73) bahwa: Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kata asing culture yang berasal dari kata Latin colere (yaitu “mengolah”, atau “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah mengubah alam”.

Dengan demikian Kebudayaan merupakan sebuah gagasan yang berasal dari hasil karya, rasa, dan cipta manusia dengan belajar sebagai pedoman bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat. Budaya diciptakan oleh manusia, begitu pula sebaliknya bahwa manusia diciptakan oleh budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan melalui cara apapun.

Selanjutnya wujud dari kebudayaan adalah sebuah sistem, hal ini disampaikan oleh Koentjaraningrat, (2009, hlm. 150) bahwa “Menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Oleh karena itu wujud kebudayaan dibedakan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. (Honingman, 1959; Koentjaraningrat, 2009) .

Selain  dari  ketiga  wujud  kebudayaan  di  atas,  Koentjaraningrat  (2009, hlm.165) menyebutkan terdapat tujuh unsur kebudayaan, yaitu: (1)  Bahasa, (2)  Sistem pengetahuan (3) Organisasi sosial (4)  Sistem peralatan hidup dan tekhnologi, (5)  Sistem mata pencaharian hidup, (6)  Sistem religi, (7)  Kesenian.

2.2     Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Pengertian kearifan lokal menurut Rahyono (2009, hlm. 7) didefinisikan  sebagai sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, yang diperoleh melalui pengalaman etnis tersebut bergulat dengan lingkungan hidupnya. Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan karakter masyarakat, karena keberadaannya selalu dilaksanakan dan dilestarikan, dalam kondisi tertentu malah sangat dihormati.

Sementara Suhartini (2009, hlm.1) mendefinisikan kearifan lokal sebagai warisan nenek moyang yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai kehidupan ini menyatu tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam budaya dan adat istiadat. Ketika sebuah masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya, mereka mengembangkan suatu kearifan baik yang berwujud  pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.

2.3       Pembangunan Karakter Bangsa

Karakter merupakan pola prilaku yang melekat pada seseorang, seperti apa yang diungkapkan oleh Komalasari dan Saripudin (2017,hlm.1) bahwa karakter melekat pada setiap individu, yang tercermin pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Karakter seseorang dipengaruhi oleh Faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature)

Sementara Zubaedi (2011, hlm.8)  mendefinisikan  karakter  sebagai  suatu  penilaian  subjektif terhadap kepribadian seseorang berkaitan dengan atribut kepribadian yang  dapat  atau  tidak  dapat  diterima  masyarakat.   Karakter  merupakan keseluruhan kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil  yang mendifinisikan  seseorang  individu  dalam  keseluruhan  tata  perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.

Upaya dalam membangun karakter bangsa penting untuk dikembangkan karena hal ini sejalan dengan pertimbangan Peraturan Presiden No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter point (b) yang menyatakan bahwa  dalam  rangka  mewujudkan bangsa  yang berbudaya  melalui penguatan nilai-nilai religius,jujur,  toleran,  disiplin,  bekerja  keras,  kreatif, mandiri,demokratis, rasa  ingin  tahu,  semangat  kebangsaan, cinta  tanah  air,  menghargai  prestasi,  komunikatif, cinta  damai,  gemar membaca,  peduli  lingkungan, peduli sosial, dan  bertanggung  jawab,  perlu penguatan  pendidikan karakter.

 

3   METHOD

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan maksud agar peneliti lebih leluasa dalam mengkaji dan menganalisis berbagai fenomena yang ditemui di lapangan secara komprehensif. Kemudian metode yang digunakan yaitu metode Etnografi karena Penelitian etnografi mempelajari peristiwa kultural, menyajikan pandangan hidup subjek studi dan merupakan model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat phenomenology”. Menurut Denzin,  (2000, hlm.457) penelitian etnografi  mendeskripsikan  tentang  cara berfikir,  cara  hidup,  cara  berperilaku  sebagai  social  settings  study”.  Penelitian ethnografi  merupakan  studi  terhadap  kelompok  budaya  yang  utuh  dan  alami selama jangka waktu tertentu. Selanjutnya (Grant & Fine, 1992; Spradley, 1980; Creswell,  2010)  menyatakan bahwa  proses  penelitian Etnografi bersifat fleksibel dan kontekstual  berkembang  sebagai respon  terhadap  realitas  hidup  yang  ditemui di lapangan dalam perspektif ontologis  nature  of  the  phenomena  atau kenyataan sosial.

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sementara itu untuk pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, studi dokumentasi dan studi literatur. Kemudian proses analisis data dalam penelitian ini, diantaranya reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 2007; Sugiyono, 2009)

Adapun lokasi penelitian ini terletak di dua Desa yaitu Desa Kujangsari dan Desa Situmulya Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten, karena masyarakat adat Cisitu ini bermukim di lokasi dua desa tersebut.

 

4  RESULT AND DISCUSSION

Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun masyarakat adat Cisitu Lebak Banten ini memiliki ragam aktivitas yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter utama bangsa Indonesia, yaitu Religius, Nasionalisme, Kemandirian, Gotongroyong dan Integritas.

Hasil wawancara dengan Kepala Adat (Kasepuhan) dan Tokoh masyarakat Adat serta hasil observasi terhadap aktivitas masyarakat adat Cisitu menunjukan bahwa dalam rangkaian upacara adat Serentaun terdapat Nilai-nilai kearifan Lokal diantaranya pertama  Prosesi Ngarasul atau aktivitas berkumpul untuk Berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk rasa syukur atas hasil pertanian yang diberikan, hal ini sebagai wujud Nilai Religius. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), “Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjungjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Berdasarkan hal tersebut Prosesi Ngarasul dianggap sebagai salah satu aktivitas yang mencerminkan keberimanan terhadap Tuahn Yang Maha Esa.

Nilai kearifan lokal yang Kedua adalah Pongokan yaitu Larangan beraktivitas dalam mengambil hasil alam dalam bentuk apapun menjelang acara ritual Upacara Adat Serentaun, Istilah Pongokan ini sebagai bentuk kepatuhan masyarakat yang kuat terhadap norma adat yang berlaku sebagai bagian dari nilai Integritas, Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-niai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karkter integritas meliputi sikap tanggungjawab sebagai warganegara, akibat terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Nilai Pongokan ini dianggap sebagai sikap tanggungjawab masyarakat adat dalam kehidupan sosialnya, dengan mematuhi segala aturan yang ditetapkan ini, maka masyarakat adat menganggap bahwa tindakan yang dilakukannya secara konsisten merupakan sebuah kebenaran tersendiri.

Selanjutnya Nilai kearifan Lokal yang Ketiga adalah Ngalaukan, Istilah Ngalaukan ini merupakan tradisi masyarakat untuk memberikan sebagian hasil bumi dan ternak kepada Kepala Adat (Kasepuhan) secara sadar dan tanpa paksaan untuk selanjutnya diolah dan dikonsumsi oleh seluruh warga masyarakat pada acara puncak upacara adat serentaun, aktivitas ini merupakan wujud nilai Kemandirian dan Gotongroyong antara sesama warga masyarakat. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), bahwa Nilai karakter Mandiri dan Gotongroyong merupakan sikap dan perilaku yang tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita, serta mencerminkan tindakan menghargai semangat kerjasama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Tradisi Ngalaukan dianggap oleh masyarakat adat sebagai wujud semangat kerjasama diantara warga dalam rangka saling membantu diantara sesama warga masyarakat dalam merealisasikan kelancaran agenda tradisi Serentaun.

Sedangkan Nilai kearifan Lokal yang keempat adalah Balik Taun, tradisi Balik Taun ini merupakan tradisi untuk kembali berkumpul atau pulang kampung bagi warga masyarakat adat yang berada diluar kota atupun luar negeri menjelang upacara adat serentaun. Tradisi ini sebagai bentuk tanggungjawab dalam menjaga serta memelihara ikatan silaturahmi diantara keluarga dan masyarakat adat secara umum. Selain itu dalam tradisi ini masyarakat adat melaporkan kepada kepala adat akan aktivitasnya diluar kota selama satu tahun. Tradisi ini sebagai wujud tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memelihara tradisi sebagai bagian daripada sikap Nasionalisme. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), bahwa Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Tradisi Balik Taun dianggap oleh masyarakat adat sebagai wujud penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik dan sosial budaya bangsa sebagai cerminan rasa nasionalisme dan rasa memiliki terhadap budaya bangsa.

Berdasarkan hal tersebut diatas, penerapan nilai-nilai kearifan lokal pada proses pelaksanaan upacara adat serentaun sebagai upaya dalam membangun karakter bangsa dapat dilakukan dengan  mengkonstruksi nilai tersebut kedalam wujud aktivitas keseharian masyarakat, hal ini sesuai dengan teori konstruksi sosial yang memandang manusia sebagai pencipta realitas mempunyai kemampuan untuk mengadakan objektivasi yang telah memanifestasikan diri ke dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya sebagai bagian dari kehidupan kolektif (Berger & Luckmann, 2013, hlm.47). Oleh karena manusia ditempatkan sebagai pencipta realitas, maka pengetahuan masyarakat mengenai kenyataan yang muncul dan nampak dalam kehidupan merupakan hasil dari konstruksi sosial.

Dengan demikian tradisi Ngarasul, Pongokan, Ngalaukan dan Balik Taun sebagai wujud nilai karakter Religius, Integritas, Kemandirian, Gotongroyong dan Nasionalisme, sejatinya merupakan warisan nilai leluhur yang senantiasa mutlak dilestarikan sebagai upaya membangun karakter bangsa yang diharapkan, hal ini  sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sapriya, (2007, hlm.24), bahwa Upaya membangun karakter warga negara pada dasarnya adalah proses pewarisan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi negara serta pesan para pendiri negara.

5          CONCLUSSION

Upacara adat Serentaun masyarakat Cisitu Lebak Banten merupakan salah satu budaya dan tradisi masyarakat Sunda yang masih bertahan ditengah-tengah arus Globalisasi saat ini. Dalam Proses pelaksanaan tradisi ini terdapat ragam aktivitas yang mengandung Nilai-nilai Kearifan Lokal yang dapat membangun karakter bangsa. Nilai nilai tersebut diantaranya pertama terdapat Prosesi Ngarasul sebagai wujud Nilai Religius atau nilai ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kedua Pongokan sebagai bentuk kepatuhan masyarakat yang kuat terhadap norma adat yang berlaku sebagai bagian dari nilai Integritas, Ketiga Ngalaukan, merupakan wujud nilai Kemandirian dan Gotong royong antara sesama warga masyarakat adat. keempat Tradisi Balik Taun,  sebagai wujud tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memelihara tradisi sebagai bagian daripada sikap Nasionalisme. Dengan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal tersebut, maka masyarakat adat Cisitu dapat menginternalisasi nilai dan mengkonstruksinya kedalam wujud aktivitas keseharian, hal ini dianggap sebagai upaya membangun karakter bangsa yang diharapkan.

References

Berger, Peter. L dan Luckmann, Thomas (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES

Budimansyah, D. 2010.  Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Creswell,  John.W.  2010.  Research  Design:  Pendekatan  Kualitatif,  Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Denzin and Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication

Grant,  L.,  &  Fine,  G.  A.  1992.  Sociology  unleashed:  Creative  directions  in classical  ethnography.  In  M.  D.  LeCompte,  W.L.  Millroy,  &  J.  Preissle (Eds.),  The Handboks of Qualitattive reserach in Education  (pp.405-446). New York: Academic Press.

Haba,  John.  2007.  Revitalisasi  Kearifan  Lokal:  Studi  Resolusi  Konflik  di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan European Commission.

Honigman,J.J. (1959). Culture and Personality. New York: Harper & Brothers.

Kementrian Pendidikan Nasional. 2017. Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter,Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Komalasari, K dan Saripudin, D. 2017. Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasi Living Values Education.Bandung : Refika Aditama

Koentjaraningrat, (2009).Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta

Lickona, Thomas. 1992. Educating For Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York

Miles, M & Huberman, A. M. (2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI-Press

Rahyono, F . X. 2009.  Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta:  Wedatama  Widya Sastra

Sapriya. “Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam MembangunKarakter Warga Negara.”  Jurnal Sekolah Dasar Tahun 16 Nomor I, Mei 2007.

Spradley. J.P 1980. The Participation Observation. New York : Reinhart & Winston

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Pendekatan Kualitatif dan R&D). Bandung: ALFABETA.

Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan penerapan MIPA [16 Mei 2009]. Yogyakarta. [Internet]. [diakses 17 April 2014]. Dapat diunduh dari:http://www.search document.com/pdf/1/KajianKearifan-Lokal-Masyarakat-dalam-Pengelolaan-Sumberdaya-Alam-danLingkungan.html

Zubaedi. 2011. Pendidikan Karakter:Konsep dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana