Oleh: Yudha Dana Prahara,
M.Pd
CGP Angkatan 7 Kabupaten Bandung
SMPN 1 Pacet Kabupaten Bandung
A.
Latar Belakang
Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat
bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang
menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik.
Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid
yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu
menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya
terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari
lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.
Ki
Hajar Dewantara mengumpamakan sekolah sebagai sebuah ladang tempat persemaian
bibit, agar bibit bisa perkembang secara maksimal maka petani dapat memperbaiki
kondisi tanah, memelihara bibit tanaman, memberi pupuk dan air, membasmi
ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup bibit tanaman dan lain
sebagainya. Dari uraian tersebut, kita dapat memahami bahwa sekolah diibaratkan
sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan
agar sekolah menjadi sebuah lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk
bertumbuh, serta dapat menjaga dan melindungi setiap murid dari hal-hal yang
kurang bermanfaat, atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid.
Dengan demikian,
salah satu tanggung
jawab seorang guru adalah bagaimana menciptakan suatu
lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung,
saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik;
dari kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga
sekolah, dan pada akhirnya karakter-karakter
dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.
Dalam
mewujudkan budaya positif perlu adanya disiplin positif. Mari kita bahas
tentang konsep disiplin positif dan motivasi melakukan disiplin positif dalam
budaya positif.
B.
Disiplin
Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal
1.
Disiplin Positif
Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib,
teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata ‘disiplin’
juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena
belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu
adalah salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam
budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan
seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung
menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Ki
Hajar Dewantara menyatakan bahwa:
“dimana ada kemerdekaan,
disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self
discipline’ yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya,
tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline,
wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah
harus ada di dalam suasana yang merdeka. (Ki
Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan
Kelima, 2013, Halaman 470).
Ki
Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan
kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka,
syarat utamanya adalah
harus ada disiplin
yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki
motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita
memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena
berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita
sendiri.
Adapun
definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku
jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga
(merdeka itu artinya; tidak hanya
terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).
Diane
Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. menyatakan bahwa
arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari
murid-murid yang dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada
sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. bagaimana cara kita
mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang
mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Dengan kata lain, seseorang yang
memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai
kebajikan universal.
Sebagai
pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri
sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan
universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
2.
Nilai-nilai
Kebajikan Universal
Nilai-nilai
kebajikan universal merupakan nilai - nilai kebajikan yang disepakati bersama ,
lepas dari suku, bangsa, agama, bahasa, maupun latar belakangnya. Nilai-nilai
universal bagaikan payung besar dari perilaku dan sikap kita atau sebagai
pondasi kita dalam berperilaku.
Nilai-nilai
kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang
ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William
Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki
suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan
mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi
intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk
dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.
Berikut ini contoh
nilai nilai kebajikan
dari beberapa institusi/ organisasi : Profil Pelajar
Pancasila yakni Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong dan Kreatif. IBO Primary Years Program
(PYP). yakni sikap Murid : Toleransi, Rasa Hormat, integritas, Mandiri,
Menghargai, Antusias, Empati, Keingintahuan, Kreativitas, Kerja sama, Percaya
diri, Komitmen. Sembilan Pilar Karakter
(Indonesia Haritage Foundation/IHF).
C. Teori Motivasi, Hukuman
dan Penghargaan, Restitusi
1.
3 Motivasi Prilaku Manusia
Diane
Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi
perilaku manusia:
a.
Untuk menghindari
ketidaknyamanan atau hukuman
Ini
adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang
motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan
bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya
mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada
mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila
mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.
b.
Untuk mendapatkan imbalan
atau penghargaan dari orang lain
Satu
tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi iniakan
bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya
melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari
orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia
berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah,
pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
c.
Untuk menjadi orang yang
mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang
dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya
melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena
mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini
tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin
positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
2. Hukuman dan Penghargaan
a.
Hukuman,
Konsekuensi, dan Restitusi
Tindakan
terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi.
Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi,
dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang
memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu
kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya.
Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti
oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin
dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya
bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah
mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada
konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.
Adapun
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki
kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan
karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses
kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka,
dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan
bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen,
1996). Restitusi juga merupakan disiplin
positif yang dapat diterapkan pada masalah siswa di kelas atau di sekolah.
Kata
disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya sudah
merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang
sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam
bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk
Restitusi.
b.
Restitusi
Sebuah Cara Menanamkan Disiplin Positif Pada
Murid
Restitusi
membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan
dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku
untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya
adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka
percayai. Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan
menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka
lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang
lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya
menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan
prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.
Ada
peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh karakternya, ketika mereka
melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid
perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga
dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan
yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika
guru memecahkan masalah
perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari
keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.
Ciri-ciri restitusi yang
membedakannya dengan program disiplin lainnya.
1)
Restitusi
bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan
2)
Restitusi
memperbaiki hubungan
3)
Restitusi
adalah tawaran, bukan paksaan
4)
Restitusi
‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri
5)
Restitusi
mencari kebutuhan dasar yang mendasari Tindakan
6)
Restitusi
diri adalah cara yang paling baik
7)
Restitusi
fokus pada karakter bukan Tindakan
8)
Restitusi menguatkan
9)
Restitusi
fokus pada solusi
10)
Restitusi
mengembalikan murid yang berbuat salah pada
kelompoknya
3.
Keyakinan Kelas
Setiap
tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan
terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi
sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Dalam
mewujudkan prilaku warga sekolah yang memiliki budaya positi hal pertama perlu
diciptakan dan disepakati adalah membuat keyakinan- keyakinan atau
prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas untuk mendapatkan
nilai-nilai kebajikan yang disepakati Bersama.
Mengapa
keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja ? jawabannya adalah suatu
keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara
intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan
keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan yang
mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu yang membuat ketidaknyamanan
dan keterpaksaan. Berikut adalah cara pembuatan keyakinan kelas.
Pembentukan
Keyakinan Sekolah/Kelas:
·
Keyakinan
kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
·
Keyakinan
kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
·
Pernyataan
keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk
positif.
·
Keyakinan
kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh
semua warga kelas.
·
Keyakinan
kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
·
Semua
warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat
kegiatan curah pendapat.
·
Bersedia
meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke
waktu.
D. Restitusi - Lima Posisi Kontrol
Disiplin
positif yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan
pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol, diantaranya:
1. Penghukum: Seorang
penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang- orang yang
menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan
sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi.
2. Pembuat Merasa Bersalah:
pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah
akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman,
bersalah, atau rendah diri.
3. Teman: Guru pada posisi
ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid
melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa
hubungan baik yang terjalin antara
guru dan murid.
Guru di posisi
teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang.
4. Pemantau: Memantau
berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita
awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan- peraturan dan konsekuensi.
Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi
kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
5. Manajer: Posisi terakhir,
Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid,
mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar
dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian,
bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan.
E.
Segitiga Restitusi
Diane
Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) telah
merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam
melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama
segitiga restitusi/restitution triangle. Pendekatan segitiga restitusi melalui
proses tiga tahapan
didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol, yaitu:
Tahapan |
Teori
Kontrol |
|
1 |
Menstabilkan
Identitas Stabilize
the Identity |
Kita semua akan
melakukan hal terbaik yang bisa
kita lakukan |
2 |
Validasi
Tindakan yang Salah Validate
the Misbehaviour |
Semua perilaku memiliki
alasan |
3 |
Menanyakan
Keyakinan Seek the
Belief |
Kita semua memiliki
motivasi internal |
Ketiga
strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah
langkah tersebut tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku. Banyak guru
yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka
masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
Segitiga Restitusi
1.
Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)
Bagian
dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang
gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar
peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami
kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan.
Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal.
Kalau kita ingin
ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak.
2.
Validasi Tindakan yang
Salah (Validate the Misbehavior)
Setiap tindakan
kita dilakukan dengan
suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita
memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa
menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
3.
Menanyakan Keyakinan (Seek the
Belief)
Teori
kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika
identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah
divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan
nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
F.
Penutup
Demikianlah
pembahasan materi 1.4 Budaya Positif, Yang saya ambil dari dalam LMS Pendidikan
Guru Penggerak, Semoga
kita semua dapat melaksanakan Budaya
Positif dalam kehidupan
sehari demi terwujudnya tujuan pembelajaran yang kita harapkan. Aamiin
Sumber
: Paket Modul 1 Paradigma dan Visi Guru Penggerak. Modul 1.4. Budaya Positif