Jumat, 06 Januari 2023

 

BUDAYA POSITIF

 

Oleh: Yudha Dana Prahara, M.Pd

CGP Angkatan 7 Kabupaten Bandung

SMPN 1 Pacet Kabupaten Bandung

 

A.   Latar Belakang

 

Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian,  karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.

Ki Hajar Dewantara mengumpamakan sekolah sebagai sebuah ladang tempat persemaian bibit, agar bibit bisa perkembang secara maksimal maka petani dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara bibit tanaman, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup bibit tanaman dan lain sebagainya. Dari uraian tersebut, kita dapat memahami bahwa sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh, serta dapat menjaga dan melindungi setiap murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat, atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid.

Dengan demikian, salah satu tanggung jawab seorang guru adalah bagaimana menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik; dari kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah, dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.

Dalam mewujudkan budaya positif perlu adanya disiplin positif. Mari kita bahas tentang konsep disiplin positif dan motivasi melakukan disiplin positif dalam budaya positif.

 

 

B.   Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal

1.   Disiplin Positif

Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata ‘disiplin’ juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan bila perlu tidak digunakan sama sekali.

Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa:

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).

Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:

mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid yang dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

 

2.   Nilai-nilai Kebajikan Universal

Nilai-nilai kebajikan universal merupakan nilai - nilai kebajikan yang disepakati bersama , lepas dari suku, bangsa, agama, bahasa, maupun latar belakangnya. Nilai-nilai universal bagaikan payung besar dari perilaku dan sikap kita atau sebagai pondasi kita dalam berperilaku.

Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.

Berikut ini contoh nilai nilai kebajikan dari beberapa institusi/ organisasi : Profil Pelajar Pancasila yakni Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, Mandiri, Bernalar Kritis, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong dan Kreatif. IBO Primary Years Program (PYP). yakni sikap Murid : Toleransi, Rasa Hormat, integritas, Mandiri, Menghargai, Antusias, Empati, Keingintahuan, Kreativitas, Kerja sama, Percaya diri, Komitmen. Sembilan Pilar Karakter (Indonesia Haritage Foundation/IHF).

 

C.   Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi

1.   3 Motivasi Prilaku Manusia

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:

a.    Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.

b.    Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi iniakan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.

c.     Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

 

2.   Hukuman dan Penghargaan

a.    Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi

Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi. Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.

Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.

Adapun Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi juga merupakan disiplin positif yang dapat diterapkan pada masalah siswa di kelas atau di sekolah.

Kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi.

b.    Restitusi Sebuah Cara Menanamkan Disiplin Positif Pada Murid

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh karakternya, ketika mereka melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.

Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya.

1)      Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

2)      Restitusi memperbaiki hubungan

3)      Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

4)      Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri

5)      Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari Tindakan

6)      Restitusi diri adalah cara yang paling baik

7)      Restitusi fokus pada karakter bukan Tindakan

8)      Restitusi menguatkan

9)      Restitusi fokus pada solusi

10)   Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya

 

3.   Keyakinan Kelas

Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Dalam mewujudkan prilaku warga sekolah yang memiliki budaya positi hal pertama perlu diciptakan dan disepakati adalah membuat keyakinan- keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan yang disepakati Bersama.

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja ? jawabannya adalah suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu yang membuat ketidaknyamanan dan keterpaksaan. Berikut adalah cara pembuatan keyakinan kelas.

Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas:

·         Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.

·         Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

·         Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

·         Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

·         Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.

·         Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

·         Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

 

D.   Restitusi - Lima Posisi Kontrol

Disiplin positif yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol, diantaranya:

1.    Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang- orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi.

2.    Pembuat Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.

3.    Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang.

4.    Pemantau: Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan- peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.

5.    Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan.

 

 

E.   Segitiga Restitusi

Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Pendekatan segitiga restitusi melalui proses tiga tahapan didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol, yaitu:

 

Tahapan

Teori Kontrol

1

Menstabilkan Identitas

Stabilize the Identity

Kita semua akan melakukan hal terbaik yang

bisa kita lakukan

2

Validasi Tindakan yang Salah

Validate the Misbehaviour

Semua perilaku memiliki alasan

3

Menanyakan Keyakinan

Seek the Belief

Kita semua memiliki motivasi internal

 

Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah langkah tersebut tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.

 


Segitiga Restitusi

 

1.   Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)

Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak.

2.   Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbehavior)

Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

 

 

3.   Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.

 

 

F.   Penutup

Demikianlah pembahasan materi 1.4 Budaya Positif, Yang saya ambil dari dalam LMS Pendidikan Guru Penggerak, Semoga kita semua dapat melaksanakan Budaya Positif dalam kehidupan sehari demi terwujudnya tujuan pembelajaran yang kita harapkan. Aamiin

 

 

Sumber : Paket Modul 1 Paradigma dan Visi Guru Penggerak. Modul 1.4. Budaya Positif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar