Keywords: Kearifan Lokal, Budaya,
Karakter Bangsa
Abstract: Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakan dengan
kebudayaan lain yaitu
dikenal dengan masyarakat
religius. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan
magis (dalam ilmu
hukum adat disebut
religio magis) dipertahankan dengan
cara melakukan upacara-upacara adat,
sedangkan keseimbangan
sosial masyarakat Sunda
dilakukan dengan gotong
royong. Salah satu
kebudayaan Sunda yang
masih bertahan adalah tradisi
Upacara adat Serentaun pada Masyarakat Adat Cisitu Lebak Banten. Ritual ini
merupakan salah satu contoh kearifan lokal dari hal adat istiadat yang
didalamnya terdapat beberapa aktivitas yang sarat akan nilai positif seperti : Ngarasul, Pongokan, Ngalaukan dan Balik
Taun. Tradisi tersebut sejatinya mengandung nilai-nilai positif karakter
bangsa. Artikel ini membahas tentang Nilai-nilai Kearifan lokal masyarakat Adat
Cisitu Lebak Banten dalam Upaya membangun karakter Bangsa. Masalah ini telah
menarik perhatian kami untuk melakukan penelitian ilmiah. Metode yang digunakan
adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi Etnografi. Penelitian yang
dilakukan menemukan bahwa Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun ini
memiliki ragam aktivitas masyarakat yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang
selaras dengan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia, terutama Lima karakter
utama dalam mengimplementasikan Penguatan pendidikan karakter (PPK) yang
dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka Gerakan Nasional Revolusi Mental
(GNRM), Yaitu: Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotongroyong dan Intergritas..
1 INTRODUCTION
Nilai-nilai positif bangsa seperti Nasionalisme, Nilai religius, nilai
kemanusiaan, integritas, persaudaraan, gotong royong, dan sikap ketauladanan saat ini mulai
banyak terkikis di
dalam lingkungan budaya masyarakat. Masuknya era Globalisasi
setidaknya mempengaruhi sikap dan paradigma berpikir masyarakat saat ini
seperti munculnya modernisme budaya konsumtif, egoisme individu dan kelompok
sampai pada titik yang memprihatinkan adalah praktik mengahalalkan segala
cara. Hal tersebut menandakan eksistensi
budaya dan nilai nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sampai saat
ini belum optimal dalam upaya membangun karakter masyarakat dalam hal ini
karakter warganegara, bahkan setiap saat kita saksikan berbagai macam tindakan Pathology Sosial (penyakit sosial
masyarakat) yang berakibat pada kehancuran suatu bangsa yakni menurunnya perilaku
sopan santun, kejujuran, kebersamaan dan gotong royong diantara anggota
masyarakat. Sejalan dengan pernyataan di atas, diduga sumber terjadinya
berbagai perilaku buruk di masyarakat adalah munculnya kebencian sosial budaya
terselubung (socio-cultural animosity)
(Budimansyah, 2010,hlm.7).
Sehubungan dengan hal tersebut menurut Lickona (1992, hlm.32) terdapat
10 (sepuluh) tanda dari perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu
bangsa yaitu : (1)Meningkatnya kekerasan
dikalangan remaja; (2) Ketidakjujuran yang membudaya; (3) Semakin tingginya
rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pigur pemimpin; (4) Pengaruh peer
group terhadap tindakan kekerasan; (5) meningkatnya kecurigaan dan kebencian;
(6) Penggunaan bahasa yang memburuk; (7) Penurunan etos kerja; (8) Menurunnya
rasa tanggungjawab individu dan warganegara; (9) Meningginya prilaku merusak
diri; (10) Semakin kaburnya pedoman moral
Sepuluh tanda perilaku tersebut dikhawatirkan membawa dampak sosial yang
menyebabkan benturan nilai, pada kondisi
tertentu masyarakat akan mengalami krisis identitas, tidak mustahil jika terus
berlarut berpotensi pula terjadi perpecahan bangsa. Di dalam situasi
kebingungan mencari rujukan untuk memecahkan berbagai macam persoalan, ada
kecenderungan sebagian masyarakat kita ingin kembali pada kearifan lokal yang
sudah teruji berabad-abad lamanya dalam mengatasi berbagai macam persoalan
kehidupan.
Kecintaan terhadap budaya lokal merupakan salah satu wujud dari rasa memiliki
yang tinggi terhadap nilai kearifan lokal disuatu daerah. Kearifan lokal
merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba (2007, hlm.330) mengatakan bahwa:
“kearifan lokal mengacu pada berbagai
kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang
dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu
mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat”.
Kearifan lokal sebagai bagian dari konstruksi budaya menurut Haba ini,
menunjukan bahwa nilai nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat digunakan
sebagai panduan dan tuntuntan dalam menjalankan setiap aktivitas sosialnya. Untuk
mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka perlu memahami
nilai-nilai budaya baik yang ada di dalam wilayah tersebut, seperti beberapa budaya adat daerah yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk kegiatan seperti
upacara-upacara adat yang
dilakukan secara turun-temurun.
Salah satu kebudayaan
Sunda yang masih bertahan
kelestariannya yaitu ritual upacara adat Serentaun pada masyarakat adat Cisitu
Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Banten. Ritual ini merupakan salah satu
contoh kearifan lokal dari hal adat istiadat,
di samping nilai,
norma, etika, kepercayaan,
hukum dan aturan -aturan khusus lainnya yang terdapat
pada masyarakat tradisional ini.
Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun ini merupakan salah satu dari sekian banyak
aktivitas yang menjadi corak masyarakat Adat Cisitu, ragam aktivitas masyarakat
adat Cisitu setidaknya memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan
nilai-nilai karakter bangsa Indonesia, terutama dalam mengimplementasikan 5
(Lima) nilai utama karakter Bangsa dalam program Penguatan pendidikan karakter
(PPK), yaitu, Religius, Nasionalis, Kemandirian, Gotongroyong dan Integritas.
Pembangunan karakter bangsa melalui kearifan budaya lokal sangatlah
dibutuhkan. Pembangunan karakter bangsa dapat ditempuh dengan cara menerapkan
nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu sarana untuk membangun karakter
bangsa. Pembangunan karakter bangsa merupakan Fondasi bagi kuat dan kokohnya nilai kebangsaan Indonesia dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Budimansyah (2010, hlm.1) pembangunan
bangsa dan pembangunan karakter (nation and
character buiding) merupakan
dua hal utama
yang perlu dilakukan bangsa
Indonesia agar dapat mempertahankan eksistensinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam artikel
ini yaitu “Bagaimana Nilai-Nilai kearifan lokal masyarakat Adat Cisitu Lebak
Banten dalam upaya membangun karakter bangsa?”.
2 THEORITICAL
2.1 Kebudayaan
Dari segi etimologis, kebudayaan berasal dari kata budaya seperti yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009, hlm.73) bahwa: Kata “kebudayaan”
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Kata asing culture
yang berasal dari kata Latin colere
(yaitu “mengolah”, atau “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan
pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”,
yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia
untuk mengolah tanah mengubah alam”.
Dengan demikian Kebudayaan merupakan sebuah gagasan yang berasal dari
hasil karya, rasa, dan cipta manusia dengan belajar sebagai pedoman bagi
tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat. Budaya diciptakan oleh
manusia, begitu pula sebaliknya bahwa manusia diciptakan oleh budaya sehingga
keduanya tidak dapat dipisahkan melalui cara apapun.
Selanjutnya wujud dari kebudayaan adalah sebuah sistem, hal ini disampaikan
oleh Koentjaraningrat, (2009, hlm. 150) bahwa “Menganjurkan untuk membedakan
wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan
sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Oleh
karena itu wujud kebudayaan dibedakan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. (Honingman, 1959; Koentjaraningrat,
2009) .
Selain dari ketiga
wujud kebudayaan di
atas, Koentjaraningrat (2009, hlm.165) menyebutkan terdapat tujuh
unsur kebudayaan, yaitu: (1) Bahasa, (2) Sistem pengetahuan (3) Organisasi sosial (4) Sistem peralatan hidup dan tekhnologi, (5) Sistem mata pencaharian hidup, (6) Sistem religi, (7) Kesenian.
2.2 Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Pengertian kearifan lokal menurut Rahyono (2009, hlm. 7) didefinisikan sebagai sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh
kelompok etnis tertentu, yang diperoleh melalui pengalaman etnis tersebut bergulat
dengan lingkungan hidupnya. Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan karakter
masyarakat, karena keberadaannya selalu dilaksanakan dan dilestarikan, dalam
kondisi tertentu malah sangat dihormati.
Sementara Suhartini (2009, hlm.1) mendefinisikan kearifan lokal sebagai
warisan nenek moyang yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai
kehidupan ini menyatu tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam budaya
dan adat istiadat. Ketika sebuah masyarakat melakukan adaptasi terhadap
lingkungannya, mereka mengembangkan suatu kearifan baik yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu
dengan norma adat, nilai budaya aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi
kebutuhan hidupnya.
2.3 Pembangunan
Karakter Bangsa
Karakter
merupakan pola prilaku yang melekat pada seseorang, seperti apa yang
diungkapkan oleh Komalasari dan Saripudin (2017,hlm.1) bahwa karakter melekat
pada setiap individu, yang tercermin pada pola perilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Karakter seseorang dipengaruhi oleh Faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature)
Sementara
Zubaedi (2011, hlm.8)
mendefinisikan karakter sebagai
suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang
berkaitan dengan atribut kepribadian yang
dapat atau tidak
dapat diterima masyarakat.
Karakter merupakan keseluruhan
kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendifinisikan seseorang
individu dalam keseluruhan
tata perilaku psikisnya yang
menjadikan tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.
Upaya
dalam membangun karakter bangsa penting untuk dikembangkan karena hal ini
sejalan dengan pertimbangan Peraturan Presiden No.87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter point (b) yang menyatakan bahwa dalam
rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai
religius,jujur, toleran, disiplin,
bekerja keras, kreatif, mandiri,demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan
bertanggung jawab, perlu penguatan pendidikan karakter.
3 METHOD
Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan maksud agar peneliti lebih
leluasa dalam mengkaji dan menganalisis berbagai fenomena yang ditemui di
lapangan secara komprehensif. Kemudian metode yang
digunakan yaitu metode
Etnografi karena Penelitian etnografi mempelajari
peristiwa kultural, menyajikan pandangan hidup subjek studi dan merupakan model
penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat phenomenology”.
Menurut Denzin, (2000, hlm.457)
penelitian etnografi
mendeskripsikan tentang cara berfikir, cara
hidup, cara berperilaku
sebagai “social settings study”.
Penelitian ethnografi
merupakan studi terhadap
kelompok budaya yang
utuh dan alami selama jangka waktu tertentu.
Selanjutnya (Grant & Fine, 1992; Spradley, 1980; Creswell, 2010)
menyatakan bahwa proses penelitian Etnografi bersifat fleksibel dan kontekstual berkembang
sebagai respon terhadap realitas
hidup yang ditemui di lapangan dalam perspektif
ontologis nature of the
phenomena atau kenyataan
sosial.
Penentuan informan
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sementara itu untuk pengumpulan data menggunakan
teknik wawancara, observasi, studi dokumentasi dan studi literatur. Kemudian
proses analisis data dalam penelitian ini, diantaranya reduksi data, penyajian
data dan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 2007; Sugiyono,
2009)
Adapun lokasi
penelitian ini terletak di dua Desa yaitu
Desa Kujangsari dan Desa Situmulya Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi
Banten,
karena masyarakat adat Cisitu ini bermukim di lokasi dua desa tersebut.
4 RESULT AND DISCUSSION
Berdasarkan
hasil penelitian terungkap bahwa Rangkaian Proses Ritual Upacara Adat Serentaun
masyarakat adat Cisitu Lebak Banten ini memiliki ragam aktivitas yang memuat nilai-nilai
kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai karakter utama bangsa Indonesia,
yaitu Religius, Nasionalisme,
Kemandirian, Gotongroyong dan Integritas.
Hasil
wawancara dengan Kepala Adat (Kasepuhan) dan Tokoh masyarakat Adat serta hasil
observasi terhadap aktivitas masyarakat adat Cisitu menunjukan bahwa dalam
rangkaian upacara adat Serentaun terdapat Nilai-nilai kearifan Lokal diantaranya
pertama Prosesi Ngarasul
atau aktivitas berkumpul untuk Berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
bentuk rasa syukur atas hasil pertanian yang diberikan, hal ini sebagai wujud Nilai Religius. Sebagaimana identifikasi yang
diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017,
hlm.8), “Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjungjung tinggi sikap
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan
damai dengan pemeluk agama lain. Berdasarkan hal tersebut Prosesi Ngarasul dianggap sebagai salah satu
aktivitas yang mencerminkan keberimanan terhadap Tuahn Yang Maha Esa.
Nilai
kearifan lokal yang Kedua adalah Pongokan
yaitu Larangan beraktivitas dalam mengambil hasil alam dalam bentuk apapun
menjelang acara ritual Upacara Adat Serentaun, Istilah Pongokan ini sebagai bentuk kepatuhan masyarakat yang kuat terhadap
norma adat yang berlaku sebagai bagian dari nilai Integritas, Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), Nilai karakter
integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-niai
kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karkter integritas meliputi sikap
tanggungjawab sebagai warganegara, akibat terlibat dalam kehidupan sosial,
melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Nilai Pongokan ini dianggap sebagai sikap
tanggungjawab masyarakat adat dalam kehidupan sosialnya, dengan mematuhi segala
aturan yang ditetapkan ini, maka masyarakat adat menganggap bahwa tindakan yang
dilakukannya secara konsisten merupakan sebuah kebenaran tersendiri.
Selanjutnya
Nilai kearifan Lokal yang Ketiga adalah Ngalaukan, Istilah Ngalaukan ini merupakan tradisi
masyarakat untuk memberikan sebagian hasil bumi dan ternak kepada Kepala Adat
(Kasepuhan) secara sadar dan tanpa paksaan untuk selanjutnya diolah dan
dikonsumsi oleh seluruh warga masyarakat pada acara puncak upacara adat
serentaun, aktivitas ini merupakan wujud nilai Kemandirian dan Gotongroyong
antara sesama warga masyarakat. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), bahwa Nilai
karakter Mandiri dan Gotongroyong merupakan sikap dan perilaku yang tidak
bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu
untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita, serta mencerminkan tindakan
menghargai semangat kerjasama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama,
menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada
orang-orang yang membutuhkan. Tradisi Ngalaukan
dianggap oleh masyarakat adat sebagai wujud semangat kerjasama diantara
warga dalam rangka saling membantu diantara sesama warga masyarakat dalam
merealisasikan kelancaran agenda tradisi Serentaun.
Sedangkan Nilai
kearifan Lokal yang keempat adalah Balik
Taun, tradisi Balik Taun ini
merupakan tradisi untuk kembali berkumpul atau pulang kampung bagi warga
masyarakat adat yang berada diluar kota atupun luar negeri menjelang upacara
adat serentaun. Tradisi ini sebagai bentuk tanggungjawab dalam menjaga serta
memelihara ikatan silaturahmi diantara keluarga dan masyarakat adat secara
umum. Selain itu dalam tradisi ini masyarakat adat melaporkan kepada kepala
adat akan aktivitasnya diluar kota selama satu tahun. Tradisi ini sebagai wujud
tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memelihara tradisi sebagai
bagian daripada sikap Nasionalisme. Sebagaimana identifikasi yang diutarakan
oleh Komalasari dan Saripudin (2017, hlm.8), bahwa Nilai
karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Tradisi Balik Taun dianggap oleh masyarakat adat
sebagai wujud penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik dan sosial
budaya bangsa sebagai cerminan rasa nasionalisme dan rasa memiliki terhadap
budaya bangsa.
Berdasarkan
hal tersebut diatas, penerapan nilai-nilai kearifan lokal pada proses
pelaksanaan upacara adat serentaun sebagai upaya dalam membangun karakter
bangsa dapat dilakukan dengan mengkonstruksi
nilai tersebut kedalam wujud aktivitas keseharian masyarakat, hal ini sesuai
dengan teori konstruksi sosial
yang memandang manusia sebagai pencipta realitas mempunyai kemampuan untuk
mengadakan objektivasi yang telah memanifestasikan diri ke dalam produk-produk
kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang
ada di sekitarnya sebagai bagian dari kehidupan kolektif (Berger & Luckmann, 2013,
hlm.47). Oleh karena manusia ditempatkan sebagai pencipta realitas, maka
pengetahuan masyarakat mengenai kenyataan yang muncul dan nampak dalam
kehidupan merupakan hasil dari konstruksi sosial.
Dengan demikian tradisi Ngarasul, Pongokan, Ngalaukan dan Balik Taun sebagai wujud nilai
karakter Religius, Integritas, Kemandirian, Gotongroyong dan Nasionalisme,
sejatinya merupakan warisan nilai leluhur yang senantiasa mutlak dilestarikan
sebagai upaya membangun karakter bangsa yang diharapkan, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sapriya,
(2007, hlm.24), bahwa Upaya membangun karakter warga negara pada dasarnya
adalah proses pewarisan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan nasional yang tertera
dalam konstitusi negara serta pesan para pendiri negara.
5 CONCLUSSION
Upacara adat
Serentaun masyarakat Cisitu Lebak Banten merupakan salah satu budaya dan tradisi
masyarakat Sunda yang masih bertahan ditengah-tengah arus Globalisasi saat ini.
Dalam Proses pelaksanaan tradisi ini terdapat ragam aktivitas yang mengandung Nilai-nilai
Kearifan Lokal yang dapat membangun karakter bangsa. Nilai nilai tersebut
diantaranya pertama terdapat Prosesi Ngarasul sebagai wujud Nilai
Religius atau nilai ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kedua Pongokan sebagai bentuk kepatuhan masyarakat yang kuat
terhadap norma adat yang berlaku sebagai bagian dari nilai Integritas, Ketiga Ngalaukan, merupakan wujud nilai
Kemandirian dan Gotong royong antara sesama warga masyarakat adat. keempat Tradisi Balik Taun, sebagai
wujud tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat dalam memelihara tradisi
sebagai bagian daripada sikap Nasionalisme. Dengan menerapkan nilai-nilai kearifan
lokal tersebut, maka masyarakat adat Cisitu dapat menginternalisasi nilai dan
mengkonstruksinya kedalam wujud aktivitas keseharian, hal ini dianggap sebagai
upaya membangun karakter bangsa yang diharapkan.
References
Berger,
Peter. L dan Luckmann, Thomas (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES
Budimansyah,
D. 2010. Penguatan Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Creswell, John.W.
2010. Research Design:
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta:
PustakaPelajar.
Denzin and Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication
Grant, L.,
& Fine, G. A. 1992.
Sociology unleashed: Creative
directions in classical ethnography.
In M. D.
LeCompte, W.L. Millroy,
& J. Preissle (Eds.), The Handboks of Qualitattive reserach in
Education (pp.405-446). New York:
Academic Press.
Haba, John.
2007. Revitalisasi Kearifan
Lokal: Studi Resolusi
Konflik di Kalimantan Barat,
Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan European Commission.
Honigman,J.J.
(1959). Culture and Personality. New York: Harper & Brothers.
Kementrian
Pendidikan Nasional. 2017. Gerakan
Penguatan Pendidikan Karakter,Jakarta : Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Komalasari,
K dan Saripudin, D. 2017. Pendidikan
Karakter: Konsep dan Aplikasi Living Values Education.Bandung : Refika
Aditama
Koentjaraningrat,
(2009).Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta
Lickona,
Thomas. 1992. Educating For Character How
Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York
Miles,
M & Huberman, A. M. (2007). Analisis
Data Kualitatif. Jakarta : UI-Press
Rahyono, F
. X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Sapriya.
“Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam MembangunKarakter Warga Negara.” Jurnal Sekolah Dasar Tahun 16 Nomor I, Mei
2007.
Spradley.
J.P 1980. The Participation Observation. New
York : Reinhart & Winston
Sugiyono. 2009. Metode
Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Pendekatan Kualitatif dan
R&D). Bandung: ALFABETA.
Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
penerapan MIPA [16 Mei 2009]. Yogyakarta. [Internet]. [diakses 17 April 2014].
Dapat diunduh dari:http://www.search
document.com/pdf/1/KajianKearifan-Lokal-Masyarakat-dalam-Pengelolaan-Sumberdaya-Alam-danLingkungan.html
Zubaedi. 2011. Pendidikan
Karakter:Konsep dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar